Untouchable

Dunia sudah semakin canggih, kemajuan teknologi sudah tidak malu-malu lagi untuk terus berkembang. Hal ini juga ikut mempengaruhi sebuah gaya hidup manusia di dunia termasuk alur perkenalan, sekarang orang-orang lebih sering memulai sebuah perkenalan dari dunia maya dengan media situs jejaring sosial seperti facebook atau bisa juga melalui situs microblogging macam twitter ketimbang harus berkenalan secara langsung ketika saling bertemu bertatap muka.

Sebenernya gue bukan orang yang terlalu terkena pengaruh ini, tapi secara langsung gue juga ikutan terpengaruh efek radiasi gaya hidup seperti itu. Gue yang emang punya sifat paling malas memulai sebuah perkenalan sama sekali gak pernah menggunakan facebook gue untuk mencari kenalan, karena buat gue facebook emang sesuai dengan konsep yang digalang oleh Mark Zuckerberg yakni sebuah situs jejaring sosial untuk berkomunikasi bersama teman-teman lama, ya gue emang lebih memprioritaskan facebook gue ini untuk orang-orang yang gue kenal walaupun gak menutup kesempatan buat orang yang baru dan pengen kenal gue.

Dan berawal dari facebook ini juga gue kembali dipertemukan dengan orang yang dahulu pernah menjadi primadona di hidup gue semasa SMA, dia itu satu-satunya orang yang bikin otak gue bisa menerima kalau sekolah itu gak begitu buruk, dia itu satu-satunya orang yang bisa bikin gue semangat bangun pagi ketika hari senin tiba, dia juga satu-satunya orang yang bisa bikin gue semangat kalo lagi upacara buat berdiri dipaling depan karena pasti gue bisa berdiri disebelah dia. Seorang cewek dengan postur yang memang tidak proporsional tapi cukup pas untuk type gue, maaf gue bukan orang yang perfectionist apalagi mencintai suatu keindahan dari sebuah kesempurnaan ciptaan-NYA, tapi gue lebih suka melihat sesuatu dari sisi lain karena semua yang ada di dunia ini bukanlah satu dimensi. Ari namanya, dia adalah pria ups maaf maksud gue Arista seorang wanita dengan segala kebaikan didirinya menurut gue, walaupun dia tidak tinggi dan sexy seperti wanita-wanita lain yang digilai banyak pria tapi dengan tubuh yang tidak tinggi ditambah dengan porsi daging yang padat dia cukup mempesona untuk beberapa orang pria tentunya, apalagi kalau ingat kulit putih bersih dan sikap serta sifat yang jauh dari kata negatif itu semakin buat gue tergila-gila dengannya.

Sejak SMA dia yang jadi penyemangat gue, sekelas dari kelas 1 SMA sampai kelas 3 SMA bikin gue sama dia udah seperti amplop surat dengan alamatnya, gue sangat mengenal dia tanpa peduli dia mengenal gue sejauh apa karena itu gak penting menurut gue. Ada kejadian yang paling bikin gue bahagia yaitu ketika kenaikan kelas 2 SMA dimana saat itu adalah masanya penjurusan IPA atau IPS untuk para siswa, gue yang saat itu dengan sangat bangga masuk ke kelas IPS sedangkan Arista masuk ke kelas IPA, jujur aja sih gue agak kecewa tapi gue tau IPA itu udah menjadi jalur wajib buat Arista dan keluarganya karena semua anggota keluarganya merupakan lulusan SMA dari jurusan IPA tentu dia gak mau merusak tradisi itu. Tapi tanpa disangka-sangka pada saat awal masuk sekolah kelas 2, gue shock karena gue ngeliat dia dateng terlambat dan masuk kedalam kelas gue, entah ini keberuntungan atau jodoh gue yang masih belum memiliki teman sebangku akhirnya dipilih Arista untuk menjadi partner selama satu tahun.

Canggung untuk duduk tepat satu meja dengan seseorang yang sangat kita kagumi itu bener-bener kerasa, bahkan untuk memulai sebuah percakapanpun rasanya sangat berat. Antara takut salah ucap dengan takut salah pegang suasana.

“Disini belum ada orangnya kan ya?” Ujar Arista sesaat setelah duduk di kursi sebelah gue.

“Iya belum Ta, duduk aja tapi gak apa-apa emang nih kita satu-satunya cowok cewek yang duduk sebangku?” Tanya gue agak salting.

“Ha? Gak apa-apa lah, kan yang penting kita gak pangku-pangkuan duduknya hahahaha.” Jawab Arista becanda.

Damn! Ini bener-bener sebuah anugerah yang gak bisa disia-siain, gue bakalan punya too much kesempatan buat semakin mendekatkan diri ke Arista, dan itu artinya gue punya banyak peluang buat mencapai sebuah cita-cita kecil gue buat jadi pacar Arista. Oke itu adalah niat awal gue dan yang ada didalam pikiran gue dengan amat sangat indah, dan pada kenyataannya duduk semeja sama dia bukan bikin gue jadi mampu mendekatkan diri ke Arista sebagai seorang yang pedekate untuk kemudian pacaran karena sampai pada kelas 3 gue tetep jadi orang yang selalu duduk disebelah dia disekolah, tapi sampai lulus juga gue belum bisa jadi pacarnya karena ternyata Arista udah punya pacar dan amat sangat tampak kalau dia sudah yakin dengan pacarnya itu.

Lulus SMA gue dan Arista akhirnya berpisah, gue melanjutkan kuliah gue di Jakarta sedangkan Arista yang gue denger dia kuliah di Malang supaya bisa lebih dekat dengan pacarnya. Sekitar beberapa tahun kita gak contact, ya gue emang punya nomor handphone Arista tapi gue bukan orang yang seenaknya aja masuk kedalam kehidupan orang yang sedang berbahagia karena gue tau gue bukan orang pembawa kedamaian apalagi kebahagiaan. Sekian lama gue tetap menjalankan kehidupan gue, mencoba melupakan Arista walau gak mungkin, gue pacaran dengan salah satu temen kuliah gue yang akhirnya kandas dipinggir jalan karena gue takut ketabrak kalo ditengah jalan. Gak cuman satu kali gue menjalin hubungan dengan cewek lain, tapi semuanya berakhir dengan alasan yang monoton yakni merasa bukan orang yang terbaik. Ya gue ngerti kok, karena orang yang terbaik buat gue emang cuman Arista, sedangkan cewek-cewek lain itu orang-orang yang mencoba jadi lebih baik daripada Arista.

Sampai suatu ketika gue menemukan nama Arista Dewanti di facebook, waktu gue liat foto-fotonya dan ternyata itu dia, Arista, wanita yang paling bertanggung jawab terhadap semua pengharapan gue dan amat sangat bertanggung jawab terhadap kehidupan cinta gue. Tanpa pikir panjang gue langsung add facebook dia, kemudian gak lama notification gue memberitahu kalau Arista sudah meng-approve request friend gue, senengnya bukan main, girangnya bukan kepalang, tapi sayang gue gak pernah berani buat menyapa dia sekalipun di facebook. Namun Tuhan memang selalu punya jalan lain untuk menjawab doa dari hambanya, beberapa hari kemudian waktu gue lagi online, Arista menyapa gue di chat facebook, kaget, terkejut, dan rasa gak percaya menghampiri gue, tapi ini nyata, itu Arista yang chat gue. Langsung gue jawab chat itu dan ternyata Arista cukup mengenal gue walaupun beberapa lama gue dan dia gak melakukan contact. Hubungan gue dan Arista pun kembali terjalin sebagai teman yang cukup dekat, hanya saja gue harus mengakui gue hanya berteman dekat dengan Arista melalui facebook itupun kalo kita lagi sama-sama online aja, gak ada wall hanya chat aja, gue gak pernah berani untuk menyapanya menggunakan media yang lebih intens lagi seperti handphone.

Beberapa bulan kemudian gue punya rencana liburan ke kota Malang seorang diri, disana gue bakalan tinggal sama tante gue dan rencananya juga gue bukan cuman mau liburan doang, gue mau cari pengalaman kerja disana, dengan ambil cuti 1 semester dari kampus guepun berangkat ke Malang. Kereta api jadi transportasi pilihan gue untuk sampe di kota Malang, malem sekitar pukul 7 gue udah sampe di stasiun dan udah siap buat nunggu kereta yang bakalan gue tumpangin dateng, berbekal sepotong roti dan 3 kotak nasi serta 4 botol air minum gue merasa sangat siap menempuh perjalanan. Ketika kereta dateng tanpa ragu gue naik dan mencari tempat duduk sesuai dengan yang tertera ditiket gue, tas gue taro dibagasi atas supaya gak nyempitin dan membatasi ruang gerak gue yang udah terbatas, sembari nunggu kereta berangkat sekitar 30 menit lagi gue keluarin senjata pertama gue buat membunuh bosan, sebuah komik serial detektif yang cukup terkenal. Saking serunya gue gak peduli lagi sama sekitar gue, mungkin kalo aja tas gue yang ada dibagasi atas itu dicuri orang gue juga gak tau.
 
Peluit kereta sudah dibunyikan dan mesin kereta juga sudah nyala, kalo udah kayak gini bisa dipastikan kalo kereta ini sebentar lagi bakalan berangkat. Gue liat ke bangku samping gue ternyata gue gak punya chairmate di kereta ini, asik banget gue bisa tidur selonjoran dan tidur gue pasti bakalan nyenyak.

“Sorry bisa minta tolong?” Tiba-tiba suara cewek memecah imajinasi gue buat menikmati perjalanan.

“Oh iya bi...” Gue gak bisa melanjutkan kata-kata gue pas ngeliat muka cewek yang mendadak merusak imajinasi gue.


“Arista?” Tebak gue.

“Loh, elo ya? Rewin kan?” Ujar Arista. Beruntung gue dia masih kenal sama gue, kalo aja dia gak kenal pasti bakalan malu banget gue gaya-gayaan nyapa dia.

Tanpa ragu dengan sedikit malu gue bantuin dia naikin tas kopernya yang agak gede ke bagasi atas. Dia pun langsung duduk ditempat gue tanpa mikir kalo nomer kursi dia sebenernya bukan yang dideket jendela.

“Win, gue boleh duduk dideket jendela?” Tanya Arista.

“Gak! Hahaha, becanda. Boleh kok, gue tau lo emang suka duduk dideket jendela.” Jawab gue dengan sok akrab.

“Dih? Tau darimana lo?” Tanya Arista lagi.

“I know what I want to know.” Ujar gue sombong.

Akhirnya sepanjang perjalanan kita banyak bicara, banyak ngobrol, dan banyak cerita. Sepertinya moment kayak gini yang gak pernah gue dapet selama satu tahun gue sebangku sama dia dikelas 2. Sampai akhirnya Arista kelelahan karena terlalu banyak air liur yang dikeluarkan untuk terus ngomong sama gue, dia tertidur dengan bersender dijendela. Ngeliat dia tertidur bener-bener bikin gue jadi makin tergila-gila sama dia, bener-bener imut, lucu dan gemesin banget, mukanya polos kayak kolor laki, pipinya tembem kayak cimol, dan idungnya itu aahh udah kayak daging tumbuh yang sengaja dibolongin biar mirip idung. Cuaca dingin bikin gue gak nyaman dan jadi ga bisa tidur, apalagi ada Arista disebelah gue makin-makin aja bikin gue ga bisa tidur karena gue gak mau ada sesuatu terjadi sama dia, gue takut kalo nanti gue tidur dia tau-tau diperkosa atau diculik walau gue tau itu cuman pikiran gue yang lebay efek daya imajinasi gue yang terlalu kuat. Selagi tidur Arista keliatan kurang nyaman, mungkin karena efek cuaca dingin dan dia tadi ngelepas jaketnya pas baru berangkat, inisiatif seorang laki-laki gue langsung berputar, gue ambil jaketnya dan gue tutupin badannya pake jaketnya. Belom sempet gue ngelepas tangan gue dari jaketnya yang udah berhasil gue taro dibadannya tiba-tiba dia kebangun dan ngeliat gue dengan posisi seperti pengen meluk dia langsung sontak kaget.

“Eh lo ngapain Win?” Kata Arista dengan eksprsi kagetnya yang gemesin.

“Hah? Gak gue cuman mau pakein jaket lo ini supaya lo gak kedinginan, sorry sorry.” Jawab gue sejujurnya.

“Serius? Lo gak lagi pengen perkosa gue kan?” Tanyanya lagi meyakinkan.

“Astaga, ya kali deh gue perkosa lo diatas kereta gini. Lo kata gue lagi main film porno apa?!” Jawab gue meyakinkan.

Arista percaya dengan kata-kata gue itu, ya memang seharusnya Arista percaya karena gue emang gak pengen ngapa-ngapain dia. Karena kaget tadi Arista jadi kesulitan buat tidur lagi ditambah hujan yang turun bikin suasanannya jadi makin dingin, Arista yang udah pake jaket tetep ngerasa kedinginan dan gue menawarkan dia buat selimutan pake kain sarung gue seenggaknya bisa buat pelapis dia. Karena merasa hangat akhirnya Arista kembali tertidur, sedangkan gue masih aja belom bisa buat terpejam, kalo biasanya gue susah tidur karena bayangan Arista selalu nongol dipikiran gue, sekarang bisa dibilang gue ga bisa tidur karena kepala Arista bersender dipundak gue.

Matahari mulai terbit, gue masih juga terjaga. Kali ini gue bener-bener terjaga karena gue emang mau jaga Arista, gue takut kalo gue tidur juga dia jadi malah ga nyaman karena kelakuan gue kalo udah lagi tidur suka rusuh. Sedangkan Arista keliatan nyenyak banget tidurnya, dia keliatan capek jadi gue gak mau sampe ngebangunin dia walau gue akuin mata gue udah berat banget tapi gue coba usir kantuk gue dengan terus menerus mainin game dari konsol game portable yang gue bawa. Akhirnya gak lama Arista bangun, dia kucek matanya sambil ngulet, aduh bener-bener gue gak ngerasa salah pilih wanita pujaan, dia bener-bener punya kecantikan alami, bukan dari make up ataupun operasi plastik kayak artis-artis korea.


“Udah sampe mana Win?” Tanya Arista dengan mukanya yang polos dan masih keliatan banget ngantuk.

“Sebentar lagi sampe kok, mendingan lo cuci muka dulu sana.” Jawab gue memberi saran.

Arista langsung beranjak ke kamar mandi, dan gak lama dia balik lagi ke tempat duduk. Gue tawarin dia roti yang gue punya buat sarapan isi perut dia, dan dia menerimanya dengan senang hati. Kita berdua kembali berbincang-bincang, tapi kali ini tidak seseru semalam karena pagi ini yang kita bicarakan hanyalah hal-hal ringan ya maklum lah masih pagi.

Gak lama kereta akhirnya berhenti menandakan kita sudah sampe di kota Malang, gue bantu Arista nurunin kopernya baru setelah itu gue turunin ransel gue. Kita berdua turun dari kereta bersamaan, berharap gue bisa anterin Arista ke kost-nya tapi sayang dia ternyata udah ditunggu sama seorang laki-laki yang dia kenalin ke gue sebagai cowoknya. Satu malam bahagia sama dia sepertinya hancur begitu aja ketika dia kenalin gue sama cowoknya, pengen banget gue tusuk mata tuh cowok! sayang aja itu dosa kalo sampe gue lakuin, yang bisa gue lakuin sekarang ya cuman sabar dan berdoa buat kebaikan Arista. Sebelum pisah Arista ngasih gue nomer handphonenya yang baru dan minta gue buat sms dia suatu waktu, ternyata selama ini nomer Arista yang gue simpen itu udah 2 tahun gak aktif, bener-bener sial nasib gue nyimpen nomer busuk.

Walaupun udah sering berkomonikasi sama Arista via facebook dan udah pernah satu malam sama dia diatas kereta, punya nomor handphone Arista gak membuat gue punya keberanian buat nelfon dia ataupun SMS sekalipun. Gue berharap Tuhan menjawab doa gue dengan membiarkan Arista yang nelfon gue atau sms gue duluan, tapi kayaknya gak mungkin karena gue rasa Arista gak punya nomer handphone gue. Sekali lagi gue bisa bilang Tuhan emang bisa bikin hambanya bahagia dengan cara lain, handphone gue tiba-tiba bergetar hebat dikantong gue, waktu gue liat ada SMS dari Arista. What? Arista, yeah ini beneran Arista, gak pake ancang-ancang lagi gue langsung baca SMS-nya dan di SMS itu Arista ngajak gue jalan-jalan, sebenernya sih dia bilang dengan alasan pengen ngenalin gue sama kota Malang, akhirnya gue setuju dan gue langsung nunggu dia jemput gue pake mobilnya.

Akhirnya gue bisa jalan sama Arista setelah sekian lama penantian panjang gue, yang paling bikin gue bahagia lagi gue cuman jalan berduaan aja sama Arista, gak ada orang lain. Tapi, seketika gue inget Arista udah punya cowok, apa gak masalah ini gue jalan berduaan doang sama dia?! Mulai banyak tanda tanya yang muncul didalam otak gue, dan gue pikir ada baiknya gue memastikan keadaannya dengan bertanya ke Arista.

“Ta, lo emang gak apa-apa nih kita jalan berduaan gini? Cowok lo gimana?” Tanya gue.

“Cowok gue? Oh yang kemaren di stasiun itu? Haha, itu emang cowok gue, tadinya, sekarang udah jadi mantan win.” Jawab Arista.

Arista pun akhirnya mau gak mau menceritakan perjalanan dari hubungan dia dengan Endi mantannya, menurut hasil penalaran gue setelah menelaah dengan teliti cerita-cerita Arista sih gue ngerasa kalo Arista itu sayang banget sama Endi, agak kasian juga gue denger cerita dia harus putus sama Endi itu tapi di satu sisi gue girang tiada tara kalo dia emang harus putus sama Endi karena emang itu yang gue mau. Mulai dari hari itu gue dan Arista semakin intens berhubungan, kita berdua sering jalan bareng, sms lancar bahkan telfon pun juga gak jarang, pokoknya gue kayak bener-bener dapet kehidupan yang gue pengen.

Setelah 6 bulan di Malang gue akhirnya udah harus pulang, 6 bulan di Malang, 6 bulan juga gue deket sama Arista secara intens tapi gue belom bisa ungkapin perasaan gue sama dia, gue takut dia bener-bener anggep gue cuman sebagai temen deket aja. Tepat di hari gue bakalan balik ke Jakarta Arista menawarkan diri buat nganter gue sampe stasiun, gue gak mau buang kesempatan, diperjalanan menuju stasiun gue mengutarakan perasaan gue.

“Ta, lo cantik hari ini.” Ujar gue mencoba membuka suasanan yang pas.

“Ah? Apaan sih lo Win.” Jawab Arista malu.

“Serius Ta, lo cantik hari ini. Sebenernya sih dari dulu pas SMA juga cantik sampe-sampe gue naksir berat sama lo. Tapi hari ini cantik lo beda, mungkin gara-gara gue mau bilang kalo gue sayang sama lo kali ya? Dan pasti lo bakalan lebih cantik lagi Ta kalo lo mau jadi cewek gue.”

“Hah? Dish, jangan macem-macem deh lo Win.”

“Astaga macem-macem apaan sih Ta?! gue cuman mau lo jadi cewek gue aja kok, gue gak mau macem-macem.”
Gue menghentikan laju mobil dan mencoba ngomong serius sama Arista.

“Gue sayang Ta sama lo, dari SMA. Maaf gue gak pernah berani buat ngutarain perasaan gue, tapi sekarang gue coba buat ngeberaniin diri gue karena gue udah gak bisa lagi buat nahan perasaan gue ini. Selama 6 bulan ini kita udah bareng-bareng, gue pikir itu cukup buat lo ngenalin gue, udah cukup juga buat gue berusaha untuk jadi yang terbaik buat lo, dan sekarang gue bener-bener pengen sesuatu yang baik buat kita, gue mau lo jadi pacar gue Ta.”

“Sebelumnya gue minta maaf ya Win, gue juga suka sama lo, gue juga sayang sama lo walaupun sebenernya rasa sayang gue ke lo itu di luar rencana gue sebelumnya. Gue mau deket sama lo karena gue cari pelarian dari mantan gue itu, gue sayang banget sama dia Win, gue mau bikin dia sadar kalo dia nyesel udah putusin gue, gue mau bikin dia jealous, maaf gue udah manfaatin lo buat kepentingan pribadi gue. Tapi jujur gue emang bener sayang sama lo, tapi gue gak bisa bener-bener gak bisa Win, gue bakalan tetep nunggu dia buat balik lagi ke gue. Maaf banget Win, gue amat sangat mohon maaf sama lo.”

Akhirnya gue cuman bisa senyum mencoba bertahan dari keterpurukan gue yang sebenernya. Mau bagaimana lagi, gue gak pernah bisa nahan Arista buat bahagia, gue tau dia bisa bahagia kalo sama mantannya itu sedangkan sama gue dia belum tentu bahagia.

“Yaudah gak apa-apa Ta, ga usah minta maaf juga hahaha..” ujar gue sambil melajukan mobil lagi ke arah stasiun.

Sampe di stasiun gue sama Arista langsung masuk dan nunggu kereta peron yang semestinya. Dan disana Arista kayaknya masih merasa gak enak sama gue karena udah nyakitin gue, sedangkan gue yang ngerasa sakit mencoba mengobati diri gue sendiri.

“Kenapa Ta? Kok daritadi diem aja?” Tanya gue.

“Gak kenapa-kenapa Win, gue minta maaf banget ya sama lo.” Jawab dia.

“Ah ilah masih aja minta maaf, gue gak kenapa-kenapa Ta. Gue bakalan tetep kayak gini, gue bakalan tetep nemenin lo kayak kemaren-kemaren sampe akhirnya lo bisa balik lagi sama mantan lo itu. Tapi maaf ya nemeninnya via sms aja haha soalnya gue mau balik ke Jakarta.”

“Serius Win? Lo gak marah sama gue? Bahkan lo tetep mau ngelakuin apa yang selama ini lo lakuin buat gue walaupun lo gak dapetin apa yang lo mau?” Tanya Arista sambil menatap tajam mata gue.

“Iya lah, sayang gue gak berubah Ta ke lo. Dan seenggaknya sekarang lo udah tau perasaan gue selama ini sama lo, dan gue bisa ngejalanin love life gue sama yang lain. Karena selama ini gue gak pernah bisa sayang sama orang lain selain lo, mungkin karena gue belom menuntaskan perasaan gue sama lo aja kali, tapi sekarang kan gue udah ungkapin perasaan gue jadi gue agak tenang.”

“Makasih ya Win, lo udah ngelakuin yang terbaik buat gue, bener-bener yang terbaik Win. Tapi maaf banget gue bener-bener gak bisa.” Arista memeluk gue bersamaan dengan kedatangan kereta yang bakalan nganter gue ke Jakarta.

“Udah ya Ta, gue balik dulu. Kalo lo pulang ke Jakarta dan mau jalan-jalan tapi gak punya temen kabarin gue aja, gue siap kok buat lo. Jaga diri lo baik-baik oke?! Gue doain yang terbaik buat lo, gue doain lo bisa balikan sama mantan lo itu, dia pasti udah nyesel banget udah ngelepasin cewek yang terbaik.” Gue mencoba menguatkan Arista, dan kemudian naik ke atas kereta.

Gue balik ke Jakarta, gue coba jalanin hidup gue lagi seperti biasa dan tentunya hidup gue yang baru. Gue udah bisa buat buka hati gue untuk orang lain tapi sama sekali gue gak pernah ngilangin perasaan gue ke Arista, selalu ada tempat buat Arista sekalipun itu hanya sebesar bola pingpong. Dan ketika Arista ke Jakarta dia selalu ngabarin gue, dan kita berdua gak pernah menyia-nyiakan waktu itu, setiap Arista di Jakarta gue selalu jalan sama dia bahkan kadang gue jemput dia di stasiun sekalipun gue udah punya cewek juga, tapi gue coba kasih pengertian ke cewek gue kalo Arista itu temen gue yang special, ga ada yang bisa atau boleh jauhin gue sama Arista.

Gue sayang lo Ta, sekalipun hati lo gak pernah bisa gue sentuh, lo bener-bener untouchable tapi lo bener-bener loveable.

Tanpa Ayah Aku Tidak Payah

Setiap manusia yang ada didunia ini pasti bermula dari rahim seorang ibu, oh tidak jika aku urutkan lagi kebelakang bermula dari pecahnya sel telur ibu karena di seruduk oleh sel sperma ayah, ah jika aku urutkan kebelakang lagi mungkin ceritaku kali ini akan menjadi sebuah cerita stensilan. Setelah terlahir dari rahim ibu atau jika secara caesar maka keluar langsung via perut maka akan ada seorang ayah yang pertama tersenyum dan ibu yang berusaha terus menahan rasa sakit, lelah, dan lemas tapi tetap berusaha tersenyum walau hanya 1 cm saja dia mampu, ya itulah perjuangan seorang ibu ketika melahirkan kita.


Aku pikir cerita itu adalah sebuah cerita yang berada pada keluarga lengkap dan bahagia, sedangkan ceritaku? Jauh bertolak belakang dari semua itu, ketika aku lahir aku tidak tau siapa yang ada disamping ibuku saat dia berjuang antara hidup dan mati guna mengeluarkan aku dari dunia ini, akupun tidak pernah tau siapa yang mengumandangkan adzan ditelingaku agar aku menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan taat dengan agama. Ya mungkin kalian bertanya kemana ayahku? Jangan kau tanyakan aku! Aku saja tidak ingat kapan aku pertama kalinya bisa melihat dunia ini, dan yang jelas saat aku bisa melihat dunia yang katanya jahat ini aku tidak pernah melihat sosok ayah dihadapanku, yang aku lihat adalah Ibuku yang senantiasa aku cintai, nenekku yang dengan sabar membantu ibuku merawatku, dan Kakekku yang sampai sekarang selalu aku anggap sebagai sosok seorang ayah. Aku ingin marah karena sikap ayahku, aku ingin kesal dan sempat ingin membencinya bahkan tak menganggap dia lagi sebagai ayahku, karena dia dengan ego yang tinggi meninggalkan ibuku dan aku untuk meraih kebahagiaan bersama orang lain, itu amat sangat egois menurutku, tapi kakekku mengingatkan aku kalau semua itu akan membuat aku menjadi sulit untuk berkembang karena hidup didalam kebencian dan dendam, aku harus bisa menerima semua jalan yang sudah dibuatkan oleh Allah.

Ibuku yang aku panggil mama adalah seorang orang tua yang amat sangat hebat, dia bisa menjadi tegas layaknya seorang ayah dan dia juga tak pernah meninggalkan jati dirinya sebagai seorang ibu yang penuh kasih sayang ketika berada didekatku, aku tak pernah bisa menggantikan hal itu semua karena itu terlalu mahal jika diuangkan, terlalu banyak jika dibendakan, dan terlalu banjir jika aku terus menangisinya. Kakek yang selalu menjaga aku, melindungi dan memanjakan aku layaknya seorang ayah sukses membuat aku sempat lupa dengan siapakah sebenarnya ayah kandungku, tapi mama pernah berjanji kelak nanti kau akan mengetahuinya.

Sampai pada akhirnya saat aku SMA aku diizinkan bertemu dengan ayahku, entah ini harus aku utarakan seperti apa berada disamping orang yang sangat asing untukku tapi aku merasa nyaman, sangat nyaman malah. Ingin sekali aku mengajaknya pulang berkumpul di rumah tapi sepertinya itu hanya harapan kosong yang sulit atau gak akan pernah terwujud. Mulai dari saat itu aku sering meminta ayahku untuk bertemu tapi sayang, dia sepertinya seorang businessman yang super sibuk, seringkali ketika sudah fix deal akan bertemu dia tiba-tiba mengcancel pertemuan itu karena ada meeting, aku hanya bisa tersenyum menahan tangis karena harus menahan rinduku terhadapnya.

Itu membuat aku terus menerus menanggap kakekku adalah sesosok ayah dalam bentuk yang lain, tapi sepertinya perasaan melupakan siapakah sosok ayahku sebenarnya memang tak akan pernah bisa berlangsung abadi, ketika aku beranjak dewasa tepatnya saat aku SMA kakek yang memang sudah tua harus beranjak dari dunia ini, dia harus menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Kepergian kakekku cukup bahkan lebih dari cukup untuk membuatku merasa kehilangan, karena beliau pergi disaat aku SMA dimana saat itu jiwaku sedang labil dan butuh bantuan dari sosok tegas seperti beliau untuk menuntunku membentuk jati diri, tapi mama dengan cepat mengambil alih peran itu, dia membentuk aku menjadi seorang perempuan yang berhati dan berjiwa kuat seperti laki-laki walau aku tak pernah bisa menolak hasrat atau naluriku sebagai perempuan dimana aku tetap bisa saja menangis, dan bisa saja menjadi lemah dan butuh seseorang untuk membopoh aku. Mungkin saja banyak yang berpikir aku hanyalah seorang wanita payah karena aku tidak pernah mendapat didikan langsung dari seorang ayah, tapi aku rasa semua itu tidak benar. Justru aku merasa lebih hebat dan lebih hebat dari wanita-wanita lain yang memiliki orang tua lengkap termasuk ayah, aku terbiasa hidup tanpa belaian kasih sayang seorang ayah, aku terbiasa dengan beberapa kesulitan dan perasaan kesepian yang sudah bukan lagi menjadi hal awam bagiku karena aku benar-benar kekurangan satu sosok yang seharusnya menjadi sosok sentral untukku. Bukti kalau aku tidak payah seperti yang orang lain pikir, aku terbiasa menghadapi masalahku sendiri tapi kalau aku sudah merasa tidak mampu menampungnya sendiri pasti aku akan membutuhkan wadah lain yang bersedia membantu aku menampungnya, tapi itu bukan alasan kalau aku ini payah! Aku pikir semua orangpun pasti seperti itu, manusia itu kan makhluk sosial jadi pasti butuh bantuan dari orang lain dan saling merepotkan itu sudah menjadi jalan sebagai seorang manusia. Disaat wanita lain menangis jika menghadapi masalah dan lebih memilih untuk pergi, aku tidak seperti itu, aku lebih suka menantangnya masalah itu dengan keyakinanku, sabar sudah menjadi hobby yang amat sangat gemar aku jalankan.

Selepas kepergian kakek gak ada lagi sosok ayah untukku, hanya ada sosok mama dan nenek yang tetap setia menemani dan mendidik aku, dididik oleh 2 orang wanita bukan menjadikan aku lemah tapi mereka yang semakin menguatkan aku, dan mereka yang menginspirasikan aku kalau wanita harus menjadi kuat dan gak lemah seperti yang orang-orang pikirkan. Tapi semakin lama tanpa adanya kakek disisiku aku merasa siapa lagi sosok laki-laki yang bisa aku andalkan untuk mengisi kekosongan sosok ayah yang selama ini aku rasakan, hal ini membuat aku selalu mengingat dan merasa iri ketika ada teman-teman yang bercerita tentang ayahnya, akupun mulai merasa kesepian dan rasa ingin bertemu dengan seorang ayah itu tak bisa aku hindarkan lagi. Tapi aneh ketika aku bertemu dengan seseorang aku merasa melihat sosok yang bisa menghilangkan rasa kesepian dan rindu akan ayahku, dia berhasil menggantikan profile kakekku yang tadinya aku anggap sudah seperti ayahku sendiri, dia adalah satu-satunya laki-laki yang bisa membuatku merasa seperti ini, dia bisa menjadi tegas seperti layaknya seorang ayah, bisa menjadi manja seperti seorang adik, bisa menjadi perhatian dan penuh kasih sayang seperti layaknya bagaimana seorang kekasih. Sepertinya aku sudah terjebak oleh cinta, aku sudah dibutakan sebuta-butanya oleh cinta, aku seakan tak pernah bisa lepas lagi dari sosok dia yang bisa mengisi kekosongan itu. Tapi lagi-lagi sepertinya Allah sedang tidak ingin melihat aku bahagia, dia merasa aku terlalu lemah dengan hadirnya dia, aku seakan kehilangan jati diriku yang sudah susah payah dibentuk ketika aku mencintainya, Allah pun memisahkan aku dengannya. Tapi aku memang sudah benar-benar dibutakan, aku benar-benar dibuat mati rasa olehnya, aku hanya ingin mencintai dia, aku hanya ingin dia yang ada disampingku sampai kapanpun.

Ketika dia sudah pergi akupun sangat merindukannya dan amat sangat ingin dia kembali menjadi milikku, aku coba segala cara untuk mewujudkan itu semua dan ternyata Allah memberi kesempatan itu lagi. Aku kembali disandingkan dengannya, bahagia? Ya tentu saja bahagia ini tidak bisa aku tutupi lagi, bahkan aku tidak tau bagaimana caranya mengungkapkan kebahagiaan ini. Namun kalian pasti tau, kebahagiaan kadang membuat manusia menjadi lupa akan tanahnya yang dipijak, lupa akan langit yang dijunjungnya, aku terlalu terbuai dan lupa dengan semuanya, lagi-lagi aku menjadi orang yang lemah ketika bersamanya, Allah amat sangat tidak menyukai itu sehingga kembali Allah mengambil kebahagiaan yang membuat aku melupakan siapa aku. Bahkan cara-NYA mengambil itu semua amat sangat tidak wajar menurutku, tapi dibalik itu semua pasti ada pelajaran dan hikmah yang bisa diambil dan tentu saja aku terus berpikir rahasia apa yang disembunyikan-NYA dari semua hal ini.


Allah ingin aku ingat siapa aku, bagaimana aku, dan seperti apa jati diriku. Aku yang kuat dan tak ingin jadi orang yang kalah berubah 180 derajat ketika aku bersama dengan pria itu, aku jadi lemah, aku jadi selalu ingin mengalah, dan ini bukan aku! Allah pasti tau itu, karenanya DIA mengambil apa yang bukan seharusnya menjadi milikku.

Aku memang terlalu suka bertindak tanpa dipikir berulang-ulang karena menurutku itu buang-buang waktu, aku tau ini bodoh tapi aku benar-benar berpikir kalau aku tidak ingin menjadi orang yang kalah, dan menjadi kuat aku tidak boleh menjadi orang yang baik. Pikiran setan itupun yang sempat menyesatkan aku, karena pernah merasa tersakiti dan kini aku melupakan apa yang pernah dikatakan oleh almarhum kakekku kalau jadi orang yang pembenci dan pendendam tidak akan mejadi orang yang berkembang, akupun jadi sering berlaku jahat kepada laki-laki yang mendekati aku dan mengaku menyayangi aku, akupun berulang kali gonta-ganti pasangan karena memang aku yang memutuskan mereka hanya untuk membuktikan kalau aku sebagai wanita tidak seperti wanita lain yang bisa dimanjakan lalu dibuang, justru akulah yang akan memperlakukan kalian para pria seperti itu, aku bukan wanita lain yang kalian pikir bisa dimainkan perasaannya. Aku akui kalau semua itu karena pengalamanku, aku akui juga kalau aku bisa disebut sebagai salah satu dari barisan sakit hati (BSH) tapi itu semua memang semata-mata hanya untuk membuktikan ke pria kalau wanita tidak selamanya bisa diperlakukan seperti itu, apalagi aku! Aku tidak bisa dan tidak akan pernah bisa lagi diperlakukan seperti itu. Mungkin aku memang sama seperti wanita lain yang lemah dan rapuh ketika kehilangan orang yang dicintainya apalagi dengan cara yang benar-benar menyakitkan, tapi aku tak terbiasa berlarut-larut didalam kepedihan itu, aku keluar dan menjadi aku yang lebih kuat.

Hampir beberapa tahun aku berlaku jahat seperti itu aku merasa benar-benar menjadi orang yang kuat dan tidak menjadi orang yang kalah malah aku merasa menang, tapi aku menang dengan cara rimba, bukan dengan cara orang yang cerdas, aku merasa dibodohi oleh diriku sendiri, aku merasa membohongi jati diriku sendiri aku tidak ingin menjadi seperti ini terus.

Nuranipun bergejolak ingin melawan semua yang telah terjadi, akupun mulai berpikir jernih dan menghentikan semuanya, aku lebih memilih menyendiri dan lebih banyak meniti kehidupan bersama semua orang yang aku sayangi dan aku anggap sebagai seorang teman, oh bukan aku bisa sebut mereka sahabat, ya sahabat yang aku ingin menjadi sejati selamanya. Mereka yang bisa membuat aku sadar, membuat aku semakin kuat, merekalah sosok ayah dalam bentuk yang lebih kompleks, sosok adik dalam bentuk yang lebih lucu, sosok kakak dalam bentuk yang lebih bawel dan menyebalkan, sosok ibu kala aku tak bersama mamaku dan butuh kehangatan saat itu juga. Waktu aku salah mereka ingatkan dan jika aku ngotot mereka biarkan aku sampai aku sadar hingga akhirnya terjatuh merekapun tak langsung menangkap aku, mereka biarkan aku terluka dan belajar menyadari kesalahanku, bila aku sudah sadar dan belajar mereka bangkitkan aku serta mengobati lukaku. Ketika aku benar dan bahagia mereka tidak ingin ikut berada diatas, justru mereka tetap berada dibawah menungguku mengajak dan siap menarikku lagi kebawah bila aku mulai terbuai dengan kebahagiaanku.

Tapi terus bersama sahabat rasanya semua orang tau, kalau pasti aku merasa ada yang kurang, ya tetap aku merasa kurang seroang ayah itu pasti, dan yang jelas aku juga merasa kekurang sosok kekasih yang bisa memberi aku kasih sayang dalam bentuk yang berbeda dari yang lain. Terpikir untuk mencari, ah tidak aku tidak mau mencari karena aku rasa Allah tau yang aku butuhkan, DIA pasti akan memberikannya, namun ada miss dari hal itu yakni Allah tak akan merubah nasib kaumnya apabila kaum tersebut tidak berusaha mengubahnya, jadi selain menunggu akupun mencari serta aku tidak pernah lupa berdoa agar diberikan yang terbaik.

Hingga akhirnya aku bertemu dengannya sesosok lelaki yang tidak tahu darimana datangnya. Oh, aku rasa Allah memang mempersiapkan dia untukku. Dia datang di saat yang bisa dibilang sangat tepat walau pada awalnya memang ada beberapa konflik yang harus aku hadapi. Sebenarnya sudah kurang lebih setahun aku mengenal lelaki ini tetapi karena sifat burukku di masa lalu membuat aku tak melihat bahwa Allah telah mengirimkan seseorang untukku.

Berawal dari semester awal ketika aku memasuki universitas. Sebagai anak muda aku tak jarang mengotak-atik jejaring social seperti Facebook, Twitter, YM!, MSN, atau bahkan Formspring. Ketika suatu malam aku iseng mencari nama seorang seniorku di Facebook, namun sial aku tidak tahu nama lengkap seniorku sehingga agak sulit untuk mencarinya di jutaan nama pengguna Facebook. Diantara jutaan nama yang keluar aku melihat nama sebuah nama dengan profile picture yang menurutku cukup menarik. Aku fikir daripada usahaku mencari seniorku itu sia-sia aku berinisiatif untuk mengarahkan mouse komputerku ke arah ‘add as friend’ di profilenya. Dan…voila! Dia menerima aku sebagai temannya di Facebook. Ternyata dia juga kuliah di universitas yang sama denganku dan hanya berbeda satu tingkatan diatasku. Ada secercah harapan untuk iseng-iseng berhadiah untuk dekat dengan senior namun semua angan-angan pupus ketika melihat status relationshipnya dengan seorang wanita. Fine, aku bukan wanita murahan yang suka merebut lelaki orang. Maka aku skip namanya dan fix aku masukkan ke list teman. Beberapa kami saling berbalas wall namun aku benar-benar tidak tertarik karena sekali lagi aku tekankan, aku-bukan-wanita-murahan yang suka merebut lelaki orang.

Singkat cerita setahun berlalu dan aku pun sempat beberapa kali menjalin cerita dengan beberapa lelaki. Namun belum ada sesosok lelaki yang benar-benar memikat hatiku. Tapi entah bagaimana awalnya tiba-tiba aku menjadi sering berkomunikasi dengan dia kembali, senior yang sempat berbalas wall denganku itu. Aku akui kami cukup dekat tapi kedekatan kami hanya aku respon sebagai seorang teman. Dia seringkali menyapaku di YM! dan bercerita tentang kekasih..ehm mungkin lebih pantas dibilang mantan kekasih karena sebenarnya hubungan mereka memang tak bisa lg diselamatkan (menurut dia). Intinya kami cukup dekat dan kedekatan kami terjadi setelah hubungan dengan mantan kekasihnya memang sudah berakhir dan aku tidak sama sekali ambil pusing untuk menyampuri urusan mereka berdua. Dan sampai akhirnya dimana dia dengan secara tiba-tiba memberanikan dirinya untuk mengutarakan perasaannya kepadaku. Aku kaget setengah mati karena selama ini tak ada sama sekali terbersit difikiranku untuk menjadi kekasihnya. Jujur aku ingin menolak tapi cara ia mengutarakan perasaannya berbeda dengan lelaki lain, malah lebih menjurus ke suatu tantangan “Boleh nggak gue coba jadi Mr.Right lo?”. ya, selama ini aku memang sedang mencari sosok itu, sosok yang tepat untukku. Dan kata-kata yang terlontar dari mulutnya seakan-akan memberikan suatu tantangan dan aku memang suka tantangan. Aku ingin lihat sejauh mana ia mampu mencoba menjadi sosok yang tepat untukku. Atau barangkali ia berfikir aku mudah jatuh cinta?

Sebulan berlalu dan statusku tak single lagi namun perasaanku seperti di awang-awang antara ya dan tidak. Namun dia telah membuktikan bahwa dia adalah benar, seseorang yang memang pantas untukku, seseorang yang tepat untukku. Hanya butuh dua bulan untuk membuat aku berani menaruh hati kepada seorang lelaki yang sebelumnya tidak pernah ada didaftar list calon-calonku. Dia berbeda. Talk less, do more. Dia benar benar membuat aku kembali tersenyum. Aku bahagia seperti dulu..tidak, lebih bahagia dari dahulu namun tetap pada jati diriku yang sebenarnya. Dia mencintaiku dengan caranya sendiri dan aku pun mencintainya dengan caraku sendiri.

Aku bersyukur, sangat sangat bersyukur karena semua doaku terkabul sudah. Allah itu memang Maha Adil. Terbukti paten. Walau terkadang banyak kerikil dalam kehidupan kita, namun jika kita mau bersabar dan tetap mencari hikmah dibalik semua masalah maka kita pasti akan menjadi seseorang yang lebih baik. Ingat, semua akan indah pada waktunya.

Semua hal yang aku lalui ini tidak mudah dan tidak indah, dari kecil aku harus hidup tanpa ayah, banyak yang mengira aku akan menjadi anak perempuan yang payah, tapi nyatanya aku bisa jadi perempuan yang tak kenal lelah untuk terus hadapi semua hal yang aku lalui, kehilangan sosok demi sosok yang aku anggap mampu mengisi kekosongan profile ayah, tapi justru itulah kesalahanku, aku jadi sulit karena selalu menganggap sosok lelaki yang aku cintai adalah pengganti sosok ayah bagiku, tapi tidak dengan dia laki-laki yang menawarkan diri menjadi Mr. Right untukku, dia tidak pernah mau berperan seperti ayah untukku, dia menjalani perannya sebagai laki-laki dihidupku entah itu adik, kakak, teman, pacar, ataupun musuh, hanya sosok ayah yang tidak pernah dia perankan karena menurutnya gak ada yang bisa menggantikan posisi atau sosok ayah dalam hidup ini.

Ayah adalah sosok yang tak akan terganti, tidak akan pernah ada istilah mantan ayah karena ayah bukanlah status. Atas semua yang aku lalui, aku suka merasa sedih ketika ada anak-anak sebayaku yang benci dengan ayahnya sampai memakinya di situs jejaring sosial dan lebih parahnya ada yang pernah aku lihat sampai ingin ayahnya mati daripada ada dihidup dia. Apa mereka gak pernah bersyukur atau setidaknya berpikir kalau mereka itu termasuk golongan anak yang beruntung memiliki keluarga yang lengkap, sedangkan aku? hanya ada ibu yang selalu setia menjadi dua sosok sekaligus dalam hidupku, betapa aku merindukan sosok ayah ada di rumahku berkumpul bersamanya di depan tv, bercanda atau sekedar sharing tentang kehidupanku. Tapi kenapa mereka yang memiliki itu semua malah ingin tidak memiliki ayah? Aku coba buktikan pada orang-orang walau aku hidup tanpa ayah bukan berarti aku ini payah, aku masih mampu ucapkan alhamdulillah sekalipun aku lelah, aku tak ingin menyerah meskipun sebenernya aku sudah gerah. Semoga tulisanku ini mampu membuka mata dan hati serta pikiran untuk orang-orang yang masih saja seenaknya mencaci orang tua mereka, karena memang sesungguhnya tidak memiliki salah satu dari mereka itu cukup menyiksa, dan berat.

Gue Bukan Sahabat Yang Baik!

“Hai, gue Ratih. Nama lo siapa?”

“Gue? Gue Erik, salam kenal ya.”

Ya kira-kira seperti itu perkenalan singkat waktu gue pertama kali ketemu sama Ratih cewek yang sekarang jadi temen baik gue dan bisa dibilang sebagai sahabat gue. Entah apa yang lagi dipikirin sama dia waktu itu sampe-sampe langkah kakinya bisa bawa dia kedepan gue, tangannya semena-mena diulurin ke depan muka gue, dan seenaknya nyebutin nama sendiri dengan percaya diri tinggi sembari nanya nama gue. Bisa dibilang dia itu cewek pertama semenjak gue hidup dari kecil sampe sekarang masuk dunia perkuliahan yang berani-beranian ngajak gue kenalan, bukan berarti gue jelek atau tidak menarik hanya saja mungkin karena aura gue kurang bagus untuk diajak kenalan. Pada kenyataan-kenyataannya bukan juga berarti gue ini gak pernah punya pacar atau deket sama cewek, gue pernah kok punya pacar waktu gue SMA dulu dan sayang aja waktu gue lulus SMA dia harus melanjutkan perjalanan pendidikannya ke salah satu negara asal makanan sushi, ya Jepang . Gue gak bisa mencegah apalagi melarang keputusan dia yang emang udah jadi cita-cita besar dia sejak dulu, awalnya gue pengen banget ngejalanin LDR sama dia tapi apadaya pada detik-detik kepergiannya dia menyatakan kalau dia gak akan pernah bisa buat LDR karena itu akan jadi beban buat dia menempuh pendidikannya dan cita-citanya, lagi-lagi gue harus mengerti keputusannya dan sekarang gue sekali lagi harus sabar menjalani hidup gue tanpa dia, selama hampir 3 tahun dimulai sejak gue dan dia satu kelas di kelas satu SMA sampai akhirnya lulus sekolah dan sekarang semua harus berakhir dengan alasan yang sangat mulia yakni mengejar cita-cita.


Di kampus ini dunia gue mengalami transformasi yang sangat besar, gue mencoba jadi orang yang berbeda dari saat gue SMA, dimulai dari cara berpikir yang coba gue dewasakan, penampilan yang coba gue rapihkan, dan rambut yang akan semakin gue gondrongkan hahaha, mohon maklum aja dari SMA gue adalah buruan para guru yang sangat ingin memotong rambut gue, tapi sayang singa lebih cepat meloloskan diri daripada kecepatan menembak pemburu. Tapi dari transformasi perubahan gue ada satu yang gak akan pernah bisa gue rubah, yaitu sifat alami gue sebagai seorang Erik, itu benar-benar sulit untuk diubah, blak-blakan, kekanak-kanakan, dan sedikit emosional.

Dan ketika gue berada di kampus, status gue sebagai seorang mahasiswa sudah dimulai dengan berkenalan sama seorang cewek bernama Ratih, seorang cewek tomboy, urakan, asal-asalan, tapi dari penampilannya yang tidak terlihat seperti cewek itu dia memiliki anugerah dari tuhan yang sangat luar biasa, dia cantik dan badannya sangat membentuk jelas kalau dia itu seorang wanita tulen, cowok mana yang tidak ingin menariknya ke kasur dan menyelesaikannya dengan cumshot waktu pertama kali melihat Ratih. Tidak munafik guepun seperti itu, setidaknya dengan mengalami gejolak hasrat seperti itu ketika melihat Ratih gue masih merasa seperti layaknya seorang laki-laki.

Berawal dari perkenalan absurd saat hari pertama ospek itulah gue dan Ratih jadi seorang teman dekat, bahkan bisa disebut sahabat. Banyak hal yang gue laluin bareng sama cewek ini, dari mulai susahnya nyari dosen, nahan sembelit gara-gara ngerjain proyek, sampe harus koprol gara-gara masalah percintaan masing-masing. Pernah satu saat dia bersusah-susah ngebantu gue buat dapetin cewek yang gue taksir, kalo ada award mak comblang terbaik pasti bakalan gue masukin Ratih di urutan pertama, karena emang jelas dengan usahanya buat ngebahagiain gue sahabatnya dia pun sukses bikin gue jadian sama Nada cewek yang udah selama berbulan-bulan gue taksir tapi karena minimnya kemampuan gue buat menaklukkan wanita bikin impian gue buat macarin Nada terhambat bahkan nyaris benar-benar akan hanya menjadi sebuah impian terbesar gue kalau saja Ratih gak turun tangan layaknya seorang dewi penyelamat.

Saat gue udah berhasil jadikan Nada sebagai pengisi relung hati gue yang sempat kosong karena ditinggalkan seorang kekasih waktu gue SMA, gue benar-benar mengisi hari gue bareng sama Nada, tanpa sadar gue udah sedikit melupakan keberadaan Ratih yang gue akuin sebagai sahabat gue, tapi amat sangat kurang ajar ketika gue merasa jatuh gue lebih memilih Ratih sebagai pembopong gue, Ratih selalu jadi pelabuhan gue waktu gue sedang dirundung masalah dan Ratih tetap menjalankan tugasnya dan memposisikan dirinya dengan baik sebagai sahabat gue, dia menenangkan dan membantu gue mencari solusi atas semua masalah gue. Beberapa kali hal seperti itu terjadi, ketika gue merasa diatas berbahagia sudah sangat jarang gue membagikan semua itu ke Ratih, gue lebih memilih menghabiskan waktu bahagia gue itu ke Nada cewek gue, sampe akhirnya gue dan Nada mengalami masa krisis dan pada ujung ceritanya gue harus kembali mengalami kenyataan berat karena harus putus sama Nada dikarenakan dia memiliki pacar lagi selain gue, sungguh amat sangat sakit sekali ketika gue tau keadaan itu. Tapi apa yang bisa gue buat? Terus-terusan menyesali kondisi dan menyalahkan keadaan? Itu sama sekali gak membantu gue.

Saat berada dalam kondisi ini lagi-lagi Ratih datang menjalankan tugasnya sebagai sahabat gue, dia buat gue kembali yakin kalau gue gak bisa terus-terusan ada didalam kondisi seperti ini. Waktu itu Ratih justru sedang berbahagia karena memiliki seorang kekasih baru, dengan label sahabat terbaik gue dia tetap datang, dia coba melupakan kebahagiaannya dengan pacar baru dan masuk kedalam kehidupan gue ikut merasakan keterpurukan gue. Keberadaan Ratih bikin gue terus bangkit, gue pun meminta maaf ke Ratih dan dengan mudahnya dia memaafkan gue atas apa yang udah gue lakuin selama gue pacaran sama Nada.

Guepun gak lagi punya pacar sampai beberapa lama, dan Ratih bersama pacarnya sudah masuk tahun kedua, jujur dengan sangat berat hati gue merasa iri atau lebih tepatnya cemburu. Gue cemburu ada orang lain yang bisa memiliki Ratih, entah apa yang gue rasakan saat itu, gue sayang sama ratih dan rasa sayang yang gue rasain bukan lagi sebagai sahabat, gue pengen Ratih jadi pacar gue. Tapi apa mungkin? Dia itu sahabat terbaik gue, dia itu orang yang bisa bikin gue ngerasa ada didalam diri gue sendiri waktu gue sama dia. Ya atas dasar menjunjung tinggi nilai-nilai persahabatan gue coba hilangkan rasa yang gak seharusnya ada itu, walau perih tapi ku baik-baik saja kalau kata Pinkan Mambo.

Beberapa bulan kemudian Ratih putus dengan pacarnya, ada rasa iba tapi ada juga rasa bangga didalam diri gue, aneh memang tapi itu adalah kenyataannya. Gue dan Ratih kembali menjadi sahabat seperti yang lalu, sama-sama jomblo tapi gak ngenes, sama-sama bahagia walau tanpa cinta. Pada keadaan dan kondisi sekarang ini, benar-benar waktu gue lebih banyak habis bareng-bareng Ratih, sampai akhirnya kita berdua menyelesaikan skripsi dan lulus di wisuda bareng-bareng. Setelah lulus gue dan Ratih mencari pekerjaan bareng juga, sulit dan benar-benar bikin setres tapi gue ngerasa sama Ratih gue pasti bisa kok laluin semua kayak gini terus dan pada akhirnya kita berdua pasti bisa bahagia dengan cara masing-masing atau cara kita berdua.

Gak lama sekitar beberapa minggu kemudian Ratih mendapatkan pekerjaan yang dia inginkan ditambah dia memiliki pacar baru yang sangat dia sayang, sedangkan gue? Ya, belum ada yang bisa menerima gue sebagai karyawan apalagi sebagai pacar, tapi Ratih tidak lantas sombong karena sudah mendapat pekerjaan lebih dulu dibanding gue, dia terus membantu gue mencarikan pekerjaan, sembari menjadi pengangguran gue mencoba peruntungan gue dengan memanfaatkan keahlian yang gue punya, gue coba untuk menjadi seorang photografer dan hasilnya ternyata tidak juga bisa dibilang gagal, Ratih terus mensupport gue dengan berbagai cara, dari mulai dana untuk gue ikutan pameran sampe moral dan inspirasi supaya gue bisa terus berkarya.

Pada suatu hari waktu gue sedang take photo untuk sebuah sampul majalah, Ratih SMS meminta gue untuk dateng ke rumahnya saat itu juga, entah ada apa tapi gue coba untuk secepat mungkin menyelesaikan pekerjaan gue dan langsung meluncur ke rumah Ratih, sampai disana apa yang gue dapet? Nothing, waktu gue sampe dirumahnya dan duduk di teras rumah ditemani semilir angin malam yang cukup mengigit kulit gue hanya disuguhkan teh panas dan suasana sepi tanpa ada satupun kata yang terucap dari mulut Ratih. Berulang kali gue tanya ada apa tapi hanya suara jangkrik yang membalas pertanyaan gue itu. Kesal sudah pasti, guepun marah dan lebih memilih untuk pergi meninggalkan Ratih sendiri, gue beranjak dari rumah Ratih menuju pulang ke rumah.

Sampe di rumah gue liat handphone dan ternyata ada SMS dari Ratih yang bernada sangat marah dan kecewa.

“Kenapa lo malah tinggalin gue sendirian?” Isi SMS Ratih saat itu.

Tanpa membuang waktu guepun langsung membalas dengan nada yang tidak kalah kesalnya. “Lo tau kan gue paling males kalo duduk, berdua gak ada yang dibicarakan, gak ada yang dilakukan, cuman diem, gak ada kata-kata, gak ada perbuatan? Terus kenapa gue harus tetep ada disitu sedangkan gak ada yang kita lakuin disitu.”

“Maaf kalo gue jadi nyebelin karena gue cuman diem bahkan gue gak jawab pertanyaan lo, tapi dengan adanya lo disini, dideket gue, disamping gue, setidaknya gue ngerasa kalo gue ini gak sendiri. Andai lo bisa sedikit lebih sabar menunggu, pasti gue bakalan cerita kok, bakalan gue kasih tau ada apa sebenernya sama lo, karena emang lo doang yang bisa tau keadaan gue dan tau gimana caranya buat ngembaliin gelak tawa gue. Gue cuman mau nenangin diri gue dulu sebelum gue siap buat cerita semuanya ke lo! Gue pikir lo itu sahabat gue yang terbaik dan mau ngelakuin apa aja demi gue sahabat lo.”

Membaca SMS balasan Ratih buat gue gak bisa nahan air mata gue, dan gue gak bisa bebicara banyak selain “Maaf, I’m sorry. Gue bukan sahabat yang baik.” Ya hanya itu SMS yang bisa gue balaskan ke Ratih.

“Lo emang bukan sahabat yang baik, gak perlu lo kasih tau gue udah tau! Tapi dengan gue ngeliat lo gue ngerasa kayak lagi ngaca, gue ngerasa ngeliat diri gue sendiri dr dalem diri lo! Andai aja lo bisa ngerti gimana perasaan gue sama lo, gue sayang sama lo Rik! Gue cuman mau lo ada disamping gue, karena lo yang bisa bikin gue tenang dan nyaman.” Balas Ratih lagi.

Gue lagi-lagi gak bisa berbuat banyak, ternyata Ratih punya perasaan yang sama, dia sayang sama gue walau gue gak tau sayang sebagai apa, tapi dari cara dia menyampaikannya sepertinya jelas kalau dia juga sayang sama gue dan ingin jadi lebih sebagai sahabat. Kali ini bener-bener gue gak tau harus membalas SMS Ratih apa, dan akhirnya gue cuman bisa bales “Gue bener-bener minta maaf Tih.”

Ratih gak pernah lagi membalas SMS gue, dan gue selalu merasa gak enak untuk SMS Ratih lebih dulu, dan karena itu semua gue dan Ratih akhirnya lost contact. Kurang lebih setahun tiba-tiba dia dateng ke rumah gue, tadinya gue pikir ini adalah pertanda baik dan mungkin ini adalah awal dari semua yang dulu pernah rusak, gue bakal ngejalanin sama Ratih lagi kayak dulu dan jujur gue pengen banget ungkapin perasaan gue yang sebenernya ke Ratih. Tapi ternyata itu hanya ada di angan gue, Ratih dateng ke rumah gue saat itu punya tujuan khusus, dia mau ngasih gue undangan pernikahan dia. Bagai disambar Tia Tanaka dikursi tamu gue gak bisa berkata dan berbuat apa-apa cuman bisa menikmati keadaan yang sebenernya gue gak mau ada didalem kondisi kayak gini, tapi apalah daya gue disini hanya sebagai teman, untuk gue sebut sebagai sahabatpun gue takut salah. Waktu itu gue dan Ratih kembali ngobrol banyak, saling bertukar pin BB, cerita, walau sebenarnya gue pengen banget bertukar posisi dengan sang calon mempelai pria di undangan itu.

Tepat pada hari H gue masih coba untuk berbesar hati menerima kenyataan kalau Ratih harus dipinang oleh orang lain, labil antara mau dateng atau enggak dan pada akhirnya gue putuskan untuk memenuhi undangan itu dan hadir tepat pada acara sedang dipenuhi pengunjung, karena bagaimanapun dia itu sahabat gue yang udah banyak berjasa dan begitu banyak cerita yang gue laluin sama dia. Awalnya gue emang udah bisa mengikhlaskan diri, tapi saat gue masuk ke gedung tempat dimana acara pernikahannya diselenggarakan gue bener-bener gak mampu buat jadi orang yang bener-bener ikhlas, gue hanya memberi ucapan selamat untuk kedua orang tuanya yang kebetulan gak lagi duduk di atas pelaminan, dan gak lupa gue memasukkan amplop berisi uang kedalam kotak yang disediakan, setelah itu gue berlalu pulang meninggalkan semuanya.

Gue pikir semua sudah selesai, sampe rumah gue cek handphone gue dan ternyata ada BBM dari Ratih yang berisi lagi-lagi kalimat kekecewaan. “Gue gak butuh angpao lo! Asal lo tau gue cuman mau sahabat gue yang terbaik liat gue dengan gaun pengantin gue dan kasih selamat langsung ke gue!”

Dan gue dengan sedikit berat harus membalas. “Maaf, sekali lagi gue bilang Tih, gue bukan sahabat yang baik. Dan asal lo tau juga, gue gak sekuat itu buat liat orang yang paling gue sayang pake gaun pengantin dengan orang lain disebelahnya.”

Yang Membuat Aku Yakin Adalah Kamu!

Sebelum membaca cerita ini secara full ada baiknya baca cerita ini agar mengerti alurnya.

Siang terik diluar, sepertinya matahari sedang marah karena beberapa hari kemarin dia sempat tidak diberi kesempatan untuk memancarkan cahayanya karena awan mendung yang tebal menutupi total dirinya. Gue yang sedari pagi sudah berada di kampus dan siang ini seharusnya sudah pulang sepertinya enggan untuk beranjak pergi dari gedung ber-AC ini, disini tempat yang gue anggap seperti neraka dunia karena berulang kali menyiksa atas skripsi gue yang gak juga kunjung terselesaikan akan menjadi tempat berteduh dari jahatnya sinar matahari. Tadinya gue pikir aku akan menghabiskan waktu terus bersama laptop gue yang memang selama sedang mengerjakan tugas akhir ini selalu gue bawa ke kampus untuk memudahkan pekerjaan penyelesaian skripsi, tapi tiba-tiba seseorang menepuk pundak gue dengan cukup keras dan terasa lumayan sakit. Tentu gue berpikir “ah tukang pacul mana nih masuk kampus nyapa-nyapa gue?” ternyata itu Nadya, si monyet kera lutung hanoman orang utan beruk maskot dufan. Gila banget emang nih cewek, cakep-cakep sekalinya nepok pundak orang gak pake ngeker tenaga main gebuk aja.

“Sendirian lo Cut?” Sapa Nadya.

Sambil ngusap-ngusap pundak gue yang emang sumpah beneran sakit gara-gara ditepok Nadya gue menjawab dengan nada sedikit kesal “kagak, nih gue sama si item kesayangan gue. Kenapa? Lo sama siapa?”

“Dih elah, kenapa sih pundak lo? Sakit tadi gue tepok? Cemen amat sih lo baru gue gituin aja kesakitan, si Onal aja gue tepok-tepok mulu kagak pernah kesakitan. Gue nungguin Onal nih dia lagi ke ruang dosen nyari dosen pembimbingnya, skripsi lo udah sampe mana Cut?” Ujar Nadya.

“Ya gak usah ngomong kalo Onal yang ditepok, jelas lo nepoknya pas lo bedua lagi sange mana bisa dia ngerasa sakit, itu jadinya malah sensasi seksual hahahaha.” Jawab gue asal.

“Sialan apem busuk!” Nadya kesal.

Gue dan Nadyapun mulai membahas pembahasan yang sebenernya gue males buat dijadikan sebagai bahan bahasan, tapi mau bagaimana?! Sepertinya ini terhitung bukan sedang membahas skripsi tapi sedang melakukan session curhat bertemakan skripsi dari gue ke Nadya. Selang beberapa saat obrolan gue dan Nadya terputus karena Onal pacar Nadya datang dengan gaya slowmotion serta diiringi oleh lagu soundtrack di film six million dollar man. Basa-basi dan obrolan tiga arahpun terjadi, tapi seperti biasanya obrolan Onal dan Nadya emang selalu sambung menyambung, tapi begitu gue harus memberi tanggapan obrolan itu langsung keluar dari topic aslinya sayang sekali. Akhirnya gue memutuskan untuk pulang karena cuaca juga sepertinya sudah mendukung dan matahari udah bisa ditaklukan oleh pawangnya.

“Nad, Nal gue balik duluan ya di luar mumpung lagi adem.” Pamit gue.

“Yaelah buru-buru banget lo Chan mau kemana sih? Jomblo aja balik buru-buru, haha..” Saut Onal.

“Eh sialan haha, mau balik aja refreshing boy.”

“Oh iya Cut, sabtu besok lo ikut ya! Gue sama Onal mau ke puncak.” Ujar Nadya.

“Ha? Ngapain gue ikut? Lo bedua mau ke puncak asmara gue ngikut. Gue mau lo bedua suruh rekamin adegan lo berdua gitu?”

“dasar kancut! Lo tuh bener-bener ya otak isinya selangkangan doang! Ada sepupunya Onal juga yang dari Aussy jadi lo bisa nemenin dia.” Ucap Nadya kesal.

“Hahaha.. iya iya sabtu kan? Oke sip siap berangkat! Kabar-kabarin aja. Gue balik ya bye.”

Diperjalanan pulang entah kenapa gue merasa excited sama ajakan Nadya buat ngikut ke puncak, apalagi ada sepupunya Onal hehe. Eh tapi emangnya sepupu si Onal itu cewek? Nah kalo cowok biar mampus gue disuruh nemenin cowok sedangkan Onal sama Nadya berduaan di puncak yang dingin. Waduh nyesel deh gue main iyain aja cuman gara-gara disebut ada sepupunya Onal.

Malam sabtu, gue ke rumah Nadya buat menuhin tantangan Rano adiknya Nadya buat ngadu PES. Nadya gak ketinggalan, dia ikutan nimbrung di kamar Rano. Sementara gue dan Rano asik mengadu taktik dan strategi di game sepak bola ini, Nadya asik ngajakin gue ngobrol yang bikin gue gak konsen ngehadepin serangan dari pemain-pemain Rano.

“Cut, besok lo jadi ikut kan? Berangkat pagi ya! Jam 5 lo udah sampe sini terus kita ke rumah Onal.” Kata Nada.

“Hah? Jam 5 sampe sini? Kenapa gak dari tadi lo bilang biar gue langsung nginep sini jadi gue udah siap-siap.”

“Goal!!!” Tiba-tiba teriak Rano karena berhasil mencetak angka dengan menjebol gawang Iker Cassilas gue.

“Ah gila lo licik banget No, gue lagi ngobrol sama mbake lo malah ngegolin! Lo sih Nad ngajak gue ngobrol aje ah.” Omel gue.

“Idih, kalah mah kalah aja Cut! Alibi banget lo kayak koruptor haha.” Ujar Nadya.

“Haha, eh itu sepupunya Onal jadi ikut? Cewek apa cowok deh? Ntar tauknya cowok males banget gue, lo beduaan di puncak sama Onal masa gue sama cowok.”

“Cewek kok Cut, tapi ...” Jawab Nadya agak tanggung.

“Ah? Tapi apaan?”

“Tapi lo liat sendiri aja deh besok, cewek kok sepupunya. Udah sana lo balik besok kesini jam 5! Abis subuh lo langsung berangkat dari rumah.”

Secara gak langsung gue udah ngerasa diusir sama Nadya, tapi karena emang harus berangkat sepagi itu yasudah, gak enak juga sama Onal kalo jadi telat dan kena macet dijalan. Guepun pamit pulang dan di rumah gue siapin barang-barang yang bakalan gue bawa. Keesokan paginya gue udah siap sesuai dengan permintaan Nadya sekitar jam 5 lewat 10 menit gue udah sampe didepan pager rumahnya, tapi begitu menyakitkannya ketika Nadya baru bukain pintu rumahnya jam 5.30 karena dia masih tidur waktu gue sampe di rumahnya. Ternyata gue dianggap orang yang sering ngaret jadi seharusnya gue bisa dateng jam 6, tapi Nadya bilang jam 5 biar gue gak ngaret, kalo dia bilang jam 6 pasti gue datengnya jam 7 ckck gue bener-bener udah dibodohi sama ni monyet satu.

Jam 6 tepat gue dan Nadya berangkat ke rumah Onal, di rumahnya Onal udah bersiap dan gue langsung menaikkan barang-barang ke dalem mobil. Sambil nunggu gue mendengarkan musik di teras rumah Onal, waktu lagi asik dengerin lagu-lagu dari sum 41 tiba-tiba ada seorang anak kecil yang keluar dari dalem rumah dan dengan ramahnya memberi gue bola karet ukuran anak-anak seperti mengajak gue buat bermain. Guepun langsung mematikan musik dari handphone gue dan menuruti kemauan anak itu, dia tampak gembira dan terlihat lepas bermain dengan gue orang yang nyatanya belum dia kenal. Tanpa gue sadar beberapa saat gue bermain dengan anak kecil itu ada seseorang di pintu yang memperhatikan, seorang cewek yang aku tidak tau dia itu siapa.

“Biasanya dia gak pernah mau main sama orang asing loh.” Ujar cewek itu.

Gue kaget dengan pernyataan cewek itu, “Ah masa? Ini dia seneng-seneng aja deh.”

“Namanya Gilang, pasti kamu belum tau kan?” Cewek itu menyebutkan nama anak yang daritadi bermain sama gue.

Entah cewek ini siapa, tapi yang jelas dia cantik dan gak tau apa yang lagi nongkrongin pikiran gue pagi-pagi gini, gue pengen banget kenal sama nih cewek.

“Ooh Gilang namanya, kalo situ punya nama juga kan?” Celetuk gue.

Sambil tersenyum manis cewek itu menyebutkan namanya. “Aku Ressy, mamanya Gilang.”

Bagaikan tersambar petir di donat bolong gue sontak kaget, muda cantik mempesona tapi sudah menjadi seorang ibu?!

“Oh udah ketemu, udah kenalan belom?” Nadya tiba-tiba keluar ngeledek gue.

“Haha, yuk berangkat udah siang nih.” Kata Onal.

Kita berlimapun berangkat menuju puncak menaiki mobil Onal, gue, Nadya, Onal, Ressy dan Gilang si kecil yang sepanjang perjalanan gak ada abisnya ngoceh ini itu sambil dipangku ibunya dikursi belakang. Sejujurnya gue emang suka main sama anak kecil, tapi kalo udah berada ditempat sempit dan tuh anak ngebacot teriak-teriak terus gue jadi enek sendiri. Tapi gak mungkin juga gue yang duduk disebelah emaknya tuh anak ngeluarin muka kesel, gue coba alihkan dunia gue untuk sementara ke musik dari handphone gue, tapi bener-bener anak ini pengen banget gue ajak main berulang kali headset yang gue pasang dia tarik sampe lepas dari kuping gue, dan gue putuskan buat gak lagi dengerin lagu karena percuma tiap pasang headset langsung ditarik sama si Gilang.

Sekitar 1,5 jam diperjalanan akhirnya sampe juga kita berlima di villa yang dituju, langsung kita ambil posisi dan beres-beres barang bawaan. Seselesainya itu kita kumpul lagi di halaman villa, ini villa punya orang tua Ressy jadi dia tau semua seluk beluk villa ini. Tadinya gue mau bener ngehabisini waktu dengan ngehirup udara pegunungan yang seger sambil tidur-tiduran di atas rumput tapi lagi-lagi karena si Gilang yang semakin gila ngajak gue main terus waktu santai gue jadi berantakan, tapi bagusnya kali ini gue gak cuman sendirian ngehadepin nih anak kecil, tapi Ressy ikutan nimbrung main sama gue dan Gilang ya itung-itung hiburan juga sih.

Sambil main bertiga, gue putusin buat banyak ngobrol sama Ressy cari tau tentang dia, jujur gue bener-bener ngerasa penasaran buat tau lebih banyak tentang sepupunya Onal yang satu ini. Akhirnya dia banyak buka cerita dan sedikit menjurus ke curhat, umurnya 1 tahun dibawa gue, dia lulusan SMA di Aussy tadinya mau lanjutin kuliah disana tapi dia gak mau dan ngotot buat pulang ke Indonesia buat kuliah sambil kerja menuhin kebutuhan anaknya. Dia lebih memilih Indonesia karena biaya hidup disini gak sebesar biaya hidup di Aussy, jadi setidaknya dia gak terlalu sulit buat menghidupi si Gilang.

Selama berada disini gue dan Ressy tampak semakin akrab, apalagi setelah pulang dari sini gue makin sering ketemu sama dia karena gue nemenin dia cari kampus yang bonafit dan sekalian cari tempat kerja yang menerima part timer buat dia dan sekaliang buat gue juga. Entah kenapa gue bersedia banget buat ngelakuin ini semua, padahal gue baru kenal sama dia, ya tapi gue anggep ini sebagai langkah gue buat makin deket sama dia, dan sepertinya gue udah mulai bisa sayang sama dia. Kedeketan gue sama Ressy juga bukan cuman gue yang berkorban dengan nganterin dia kesana kesini, tapi dia juga paham kewajiban gue buat selesain skripsi gue jadi dia turut andil dalam penyelesaian skripsi gue ini. Walaupun beda 1 tahun dibawah gue dan dia baru lulus SMA, tapi lulusan luar negeri itu emang beneran ajib deh hasilnya, bantuan dia di skripsi gue ini bener-bener berasa, gak sampe 2 bulan dengan dibantu Ressy skripsi gue ini udah selesai dan gue tinggal menunggu sidang aja. Dan selama gue sidang Ressy meminta gue buat baca skripsi yang udah gue bikin itu dengan serius supaya pas sidang gue bisa jawab semua pertanyaan dari dosen penguji, diapun memutuskan buat gak pergi kemana-mana sama gue karena emang semua lamaran kerja dan universitas tinggal nunggu pengumuman aja.

Beberapa minggu kemudian gue sidang dengan Ressy ikutan masuk kedalem ruang sidang mensuport gue gak ketinggalan Nadya yang udah sidang sehari sebelumnya dan Onal yang baru besok akan menjalani sidangnya. Beberapa jam gue didalam dan dicecar oleh pertanyaan-pertanyaan yang bener-bener menyesakkan jiwa dan raga, tapi gue harus berhasil, gue yakin kalo gue bakalan berhasil dan ternyata emang keyakinan gue itu bukan cuman sebuah keyakinan semu, gue dinyatakan lulus sidang skripsi dengan nilai A, alhamdulillah ini bener-bener anugerah dan jawaban dari semua usaha juga doa gue selama ini. Guepun merayakannya bareng-bareng Nadya, Onal dan Ressy yang udah bersedia support gue luar dalem dengan sepenuh jiwa, pokoknya gue bakalan traktir mereka makanan enak hari ini, gak bakalan gue sia-siain bantuan kalian selama ini dalam pengerjaan skripsi gue yang amat sangat membunuh waktu-waktu bahagia gue, guepun ngajak mereka ke kedai bakso depan kampus.

“Aaah, sialan katanya mau ngajak makan enak! Ujung-ujungnya bakso dimari lagi.” Ujar Nadya ketus.

“Hahaha, kan enak bakso disini. Ressy aja doyan tuh, ya gak Res?” Jawab gue becanda.

“Hehe iya Nad, gak apa-apa lah! Ini kan traktiran dadakan, nanti kita tunggu aja traktiran berencananya haha.” Kata Ressy.

“Woh? Haha, siap deh tenang aja bakalan ada pasti makan-makan enaknya yang beneran.”

Gak sampe disitu sepertinya Allah ngasih kebahagiaan gue hari ini, waktu gue nganter Ressy pulang ke rumahnya yang juga rumah Onal gue secara yakin dan menggebu-gebu ungkapin perasaan gue selama ini ke dia, gue yakin kalo gue emang bener-bener sayang sama dia, tapi gue gak yakin dia juga punya perasaan yang sama atau enggak. Dan itulah kebahagiaan gue yang bertambah, Ressy menerima gue, dia juga memiliki rasa yang sama dengan gue, dia sayang sama gue, karena gue satu-satunya orang yang bisa dia percaya buat jaga dia, dan juga jaga Gilang anaknya.

Hubungan gue dengan Ressy sepertinya memang akan bahagia seperti diramalkan oleh beberapa kerabat dekat gue, tapi ternyata tidak. Hubungan gue dan Ressy mendapat tentangan keras dari orang tua gue yang gak setuju gue pacaran sama orang yang udah memiliki anak tapi gak jelas siapa bapaknya, terus gue pacaran tapi harus juga udah nanggung beban jadi sosok ayah buat Gilang, apa gue bisa? kalo gue gak bisa nanti kemungkinan Gilang bakalan jadi bengal sama halnya seperti gue, apa gue gak bakalan disalahkan nantinya?! Semua pertanyaan orang tua gue benar-benar bikin gue terpuruk dan berpikir lebih keras lagi buat yakinin diri gue. Tapi akhirnya gue udah gak bisa lagi buat yakinin diri gue sendiri kayak gini, guepun coba buat ngomong sama Ressy tentang keadaanya semua kayak gini, sulit buat terusin semuanya bareng-bareng. Tapi Ressy bukan wanita biasa, dia sudah terbiasa menanggung kesulitan tentang kenyataan hidupnya yang emang udah gak bisa lagi dia tolak ataupun dia ulang waktu buat perbaikin semuanya, dia harus survive hadepin semuanya.

“Aku mau coba ketemu orang tua kamu boleh?” Kata Ressy menanggapi semua cerita gue.

“Hah? Buat apaan? Kamu mau ngapain? Ngomong sama mereka? Percuma Res, mereka itu kerasa kepalanya, batu karang mah kalo diaduin kekepala mereka juga ancur itu batu.” Jawab gue menahan niatan Ressy.

“Gak sayang, aku sayang sama kamu, aku malah udah cinta sama kamu, aku yakin kamu sosok yang tepat buat Gilang, aku tau kita ini emang masih pacaran bukan nikah tapi sikap kamu ke aku, sikap kamu ke Gilang itu udah nunjukin kalo kamu pantes buat jadi imam kita berdua. Umur kita emang masih jauh buat nikah dan bener-bener jadiin kamu sebagai imam dalam sebuah keluarga, tapi gak ada salahnya kan buat latih dari sekarang, kalopun nanti Allah itu gak setuju sama semuanya juga pasti dikasih jalan kan?” Kata Ressy coba nenangin gue dan ngeyakinin gue.

“Iya sih, tapi mungkin ini caranya Allah ngasih tau ke kita kalo hubungan kita itu gak baik dan gak bisa diterusin gimana?”

“Chandra sayangku, bukannya Allah gak akan pernah ngerubah nasib suatu kaum melainkan kaum itu sendiri yang berusaha untuk merubahnya? Kalo emang ini udah jadi jalannya Allah, ya kita coba buat rubah, kalo emang gak bisa yaudah itu udah jadi takdir, tapi kalo bisa? bukannya itu pintu buat kita berdua bahagia?”

“Jadi kamu yakin mau ketemu dan ngomong sama orang tua aku?” Tanya gue meyakinkan keputusan Ressy.

“Iya, aku yakin tapi dengan ditemenin kamu juga, gak cuman aku doang!”

Akhirnya gue memutuskan ikutin apa kemauan Ressy, karena emang gue rasa cuman itu caranya ngeyakinin orang tua gue, yang jelas gue gak mau kehilangan Ressy setidaknya untuk saat ini. Gue ngerasa dia terlalu berharga buat gue, dia terlalu indah buat gue, dan itu yang bikin gue gak mau kehilangan dia. Beberapa hari kemudian gue dan Ressy datang menghadap kedua orang tua gue. Dia dicecar beragam argument tentang dirinya bahkan gue merasa kedua orang tua gue sedikit mencela keadaannya, tapi sebuah jawaban yang cukup panjang dari Ressy sepertinya berhasil membuat mata hati kedua orang tua gue terbuka.

“Siapa yang mau jadi seperti saya ini? Punya masa lalu yang bisa dibilang menjijikan dan gak bisa dibanggain. Pasti tidak ada! Siapapun pasti ingin kehidupannya berjalan dengan normal, tapi sepertinya saya harus menghadapi kenyataan kalau saya tidak lagi bisa menjalani kehidupan saya secara normal, tapi walau begitu saya selalu mencoba untuk menjadi manusia normal yang masih sangat ingin dicintai dan mencintai. Saya mencintai Chandra, dan saya rasa Chandra juga mencintai saya, apakah harus disalahkan ketika dua orang anak manusia saling mencinta? Apa oom dan tante menanggap saya ini punya kehidupan yang gak normal tapi oom dan tante sendiri yang tidak menormalkan kehidupan saya dan Chandra dengan menolak keberadaan hubungan kita berdua yang emang udah kita jalanin dengan cukup serius. Saya gak menuntut Chandra buat nikahin saya nantinya, tapi sekarang saya mau jalanin bareng-bareng Chandra, dan saya harap oom dan tante paham. Saya dan Gilang anak saya butuh Chandra buat menghibur dan isi hari-hari kita dengan kasih sayang dia, walau hanya sebagai pacar. Saya mohon dan saya sangat berharap sekali lagi oom dan tante bisa ngerti dan biarkan dulu Chandra dan saya jalanin semua sebagai pacar sama-sama, Chandra yang bisa kembaliin kepercayaan saya terhadap laki-laki lagi.”

Bokap dan nyokap gue pun gak bisa berbicara apa-apalagi, nyokap justru malah meluk Ressy dan minta maaf. Akhirnya nyokap bisa luluh dan ngebiarin gue ngejalanin semuanya sama Ressy, dia percaya gue bener seperti apa yang Ressy bilang, dengan begini gue bisa belajar jadi lebih bertanggung jawab, dan guepun janji sama kedua orang tua gue kalo keputusan mereka ngebiarin gue ngejalanin hubungan layaknya orang normal sama Ressy itu bukan keputusan yang salah.

I Love You Mr. P

Hhaahh.. akhirnya aku bisa kembali menikmati suasana negeri yang indah ini dan kota yang padat tapi begitu membuat orang lain begitu selalu ingin datang kembali kesini, sepertinya sudah terlalu lama aku berada di negeri kangguru. Sesampainya di rumah aku langsung merebahkan tubuhku di kasur bersama beberapa boneka kesayanganku yang memang sengaja aku tinggal dan tidak aku bawa ke Aussy.

Sepertinya bosan kalau di Jakarta aku menghabiskan waktu di rumah saja, tapi kondisi tubuhku yang masih terlalu lelah untuk banyak beraktifitas menghambat keinginanku untuk bepergian. Akhirnya aku putuskan untuk sekedar berjalan-jalan disekitar kompleks perumahanku saja, aku baca dari internet di Indonesia olahraga bersepeda sedang digandrungi, jadi akupun berkeliling dengan menggunakan sepedaku. Pagi itu matahari seperti enggan untuk menampakan dirinya dan lebih memilih untuk bersembunyi dibalik awan yang berwarna keabu-abuan, membuat cuaca pagi ini pas untuk dinikmati sambil menggowes sepedaku yang didominasi oleh warna cerah. Ditengah-tengah jalan saat aku sedang menikmati pagi hari ini tiba-tiba saja turun hujan yang cukup deras, sial sekali posisiku masih cukup jauh dari rumah dan jika aku paksakan menerobos hujan ini bisa-bisa aku sakit karena memang tubuhku tidak cukup kuat untuk bermain hujan akupun berteduh di salah satu warung bakmie ayam yang ada didekat situ, ya memang seingatku warung mie ayam ini buka dari pagi hingga malam hari dan yang punya adalah teman mamaku.

Agak lama aku menunggu hujan reda sambil iseng menunggu akupun memesan mie ayam itung-itung sekalian sarapan. Waktu aku sedang asik makan mie ayam, tiba-tiba ada yang menyodorkan aku bungkus rokok dengan beberapa batang rokok yang keluar dan siap diambil dr depanku, merasa tersinggung akupun menoleh ke arah orang itu dan ternyata itu adalah Putra, seorang cowok yang memang mempunyai hobi mengganggu dan sangat menyebalkan, lebih parahnya lagi aku harus mengakui kalo dia itu adalah seorang mantan kekasihku.

“Apaan sih nyodor-nyodorin rokok, hidup sehat kali men!” Ujarku sambil menepis tangan Putra dari hadapanku.

“Oh sekarang udah berani ngomong hidup sehat lo Mrs. V??” Ledek Putra.

“Hah? Maksud lo apa Mr. P?! Gue emang selalu hidup sehat kali, lo aja yang gak pernah tau.” Aku melakukan pembelaan.

“Halah, gue tau siapa lo kali Van!”

Ya aku akui memang Putra adalah orang yang tau segala tentang aku, hampir semua yang tidak orang lain ketahui, dia tau. Mungkin karena memang sejak kecil aku sudah kenal dengannya, dia adalah teman mainku saat kecil, dan ketika kita sama-sama beranjak besar kami saling mencinta hingga akhirnya jadian selama 3 tahun. Selama jadian kita berdua memiliki panggilan sayang yang sempat membuat heboh dunia persilatan, aku selalu memanggil Putra Mr. P dan Putra sering memanggilku dengna panggilan Mrs. V karena namaku Vania, dua panggilan itu sering digunakan sebagai kata penyamar untuk menyebut kelamin wanita dan pria dalam cerita-cerita porno atau konsultasi masalah seksual ke dokter seks, tapi keanehan dan keunikan itu yang bikin kita berdua semakin dekat dan semakin bisa membuat suasana hubungan kita berdua menjadi lebih indah, aku anggap Putra adalah satu-satunya cowok yang bisa bikin aku jadi diriku sendiri, dan menurut Putra aku adalah cewek yang bisa membawa jati dirinya pulang setelah sekian lama dia harus berbohong pada dirinya sendiri.

Setelah lama gak bertemu kita berdua ngobrol banyak disana sambil menunggu hujan berhenti, cukup lama sekitar 2 jam kita berdua menunggu hujan di warung mie ayam tersebut. Setelah hujan berhenti Putra langsung menawarkan diri untuk mengantarkan aku pulang ke rumah, entah apa yang sedang merasuki pikiranku atau aku kembali merasa nyaman berada didekat Putra akupun mengiyakan tawarannya, ya sebenarnya aku memang masih sangat menyayangi Putra, mungkin aku sudah jatuh cinta dengannya, tapi karena keadaan aku rasa aku tak akan bisa dan aku pikir tak akan pernah pantas lagi untuknya. Gak lama kita berdua berjalan dari warung mie ayam tersebut kita berdua sudah sampai di depan pintu gerbang rumahku, tadinya aku pikir Putra hanya akan mengantar aku sampai disini saja, tapi tiba-tiba ibuku keluar dan mengajak Putra untuk mampir. Tawaran itu sulit ditolak mengingat Putra adalah satu-satunya cowok dari sekian pacar-pacarku dahulu yang direstui oleh kedua orang tuaku bahkan seluruh keluargaku, mungkin feeling orang tua memang sangat sakti sehingga bisa tau mana yang baik untukku dan mana yang tidaka baik untukku.

Sekitar setengah jam Putra, aku dan ibuku ngobrol di ruang tengah, setelah itu kami kembali ditinggal untuk berdua. Gak tau apa yang akan aku jadikan topik untuk membuka suasana ngobrol, sontak aku kaget ketika Putra dengan lembut memegang tanganku, dan seperti biasa dengan gaya khasnya yang sok serius dia menanyakan sesuatu yang sesungguhnya tidak pernah ingin aku jawab.

“Van, sampe sekarang aku gak ngerti kenapa kamu putusin aku. Maaf kalo aku tanya kayak gini, tapi selama ini pertanyaan itu selalu setia banget nongol didalem benak aku. Kalo emang kamu gak mau jawab gak apa-apa kok Van, tapi aku sih ngarep banget bisa kejawab biar aku kalo mati nanti gak usah repot-repot lagi nagih ke kamu tentang pertanyaan ini.”

Aahh kali ini aku bener-bener gak tau harus jujur sama dia atau tetep ngerahasiain ini dari dia, tapi kalo memang aku mengaku sayang dengannya aku pikir gak seharusnya aku menyembunyikan hal ini dari dia, Putra harus tau sekalipun setelah itu dia tidak akan lagi pernah mau menemuiku tapi setidaknya aku sudah mencoba untuk jujur.

“Kamu yakin mau tau Put?” Tanyaku mencoba memastikan.

“Ya kalo aku ga mau tau sih gak bakalan juga aku nanya sama kamu, dasar Mrs. V pintu koboy.” Jawab Putra.

“Ih hahaha, kok songong sih Mr. P extention haha. Iya oke deh aku bakalan jawab pertanyaan kamu itu, jadi alasan aku mutusin kamu waktu itu krn aku mau pergi ke Aussy, aku gak mau kamu kangen dan malah jadi nyakitin satu sama lain.” Kataku menjelaskan.

Tapi dengan nada melas Putra langsung cepat menjawab “Hhhh.. yaudah kalo emang masih mau nambah dosa dengan berbohong kayak gitu sih, kalo aku jadi kamu sih ogah deh hahaha.”

Loh, darimana dia tau kalo aku bohong, sepertinya dia emang orang yang tau segalanya tentang aku. “Iiihh hahaha, iya iya aku jujur tapi kamu janji jangan marah sama aku ya.”

“Iyaa, bawel deh mau ngejawab aja banyak embel-embelnya.” Ujar Putra sedikit bete.

“Aku ngerasa aku gak pantes buat kamu, aku udah bukan aku yang dulu lagi, aku ini lemah Put, aku ini gak kayak Vania yang kamu kenal lagi yang ceria, murah senyum, dan apapun yang kamu tau tentang aku.”

“Apa sih? Kamu ngomong gitu maksudnya apaan coba?”

“Aku ke Aussy bukan buat jalan-jalan atau berlibur, aku ke Aussy buat pengobatan penyakit aku dan daripada harus bolak balik jadi terpaksa aku sekolah disana juga.”

“Emang kamu sakit apa?”

“Aku kena kanker paru-paru, mungkin ini karena aku sering ya yang kamu tau gimana aku, ngerokok, shisha, dan semua kegiatan negatif aku. Ini emang kesalahan aku karena aku yang udah bikin diri aku sengsara.”

“Terus apa harus di Aussy pengobatannya? Dan kenapa kamu ga jujur sama aku?”

“Disini belom ada pengobatan yang bagus buat penanganan kanker paru-paru, jadi aku ke Aussy deh, itupun karena dapet recommend dari dokter disini juga. Dan aku minta maaf sama kamu, aku gak mau ngebebanin kamu karena malu punya pacar penyakitan, dan kamu bakalan repot ngurusin aku, ngejaga aku kalo aku penyakitan, aku gak mau Put jadi nambah beban kamu. Itu semua jujur karena aku sayang banget sama kamu, aku gak bisa ngebiarin diri aku ngebuat kamu harus nanggung beban aku juga.”

“Van, bisa gak sih kita gak mikirin membebani dan terbebani, aku sayang sama kamu berarti aku siap dengan apapun resiko yang bakalan aku tanggung sama kamu. Sekalipun kamu sakit aku bakalan tetep jaga kamu, aku bakalan tetep sayang sama kamu, dan kalo emang kamu harus berobat ke luar negeri gitu, aku dengan rasa sayang aku yakin akan bisa terus nunggu kamu sampe kamu balik kesini dan sehat. Itupun yang aku lakuin sampe sekarang Van, aku masih terus nunggu kamu, aku masih sayang banget sama kamu, aku gak pernah bisa buat ngilangin kamu dan ngejalanin hubungan baru sama orang lain.”

“Jadi selama ini kamu?”

“Iya, aku tetep setia nunggu kamu sekalipun kalo kamu di Aussy punya tujuan buat nikah, seenggaknya dengan nunggu kamu dan ketemu kamu serta bisa memperjelas semuanya aku punya alasan yang tepat buat ngejalanin hal baru sama orang yang baru juga. Gak kayak kemaren, aku masih gak tau apa alasan tepat kamu mutusin aku.”

“2,5 tahun kamu nunggu aku tanpa ngejalanin sama cewek lain Put? Cuman karena kamu mau tunggu penjelasan dari aku? Tapi apa kamu gak malu punya pacar penyakitan kayak aku? Kamu bakalan repot kalo ngajak aku jalan-jalan karena aku gak sekuat cewek lain.”

“Penyakit kamu itu kanker paru-paru kan? Bukan syndrome telanjang didepan umum? Kenapa aku harus malu?”

Aku gak tau lagi harus menjawab apa kata-kata Putra, aku hanya bisa meneteskan air mata haru dan tersenyum, aku merasa bersalah dengannya karena sudah membuat dia menunggu suatu hal yang sebenarnya tidak pasti. Saat itu juga aku memeluk Putra dan memintanya kembali mau menjalani semuanya bersamaku seperti dahulu. Dan Putra tidak akan mensia-siakan penantiannya selama ini, dia sudah memaafkan aku sejak lama bahkan saat aku pegi meninggalkan dia, yang dia tau hanyalah rasa sayang dia kepadaku yang begitu besar sehingga dia akan melakukan apapun agar rasa sayang itu tidak hilang.

Dan semua itu terus bertahan hingga kami berdua berencana menikah, tapi sepertinya tuhan memang tidak menghendaki aku dan Putra bersatu, sebulan sebelum pernikahan kami berlangsung Putra pergi meninggalkan aku tapi dengan alasan yang sangat jelas, dia pergi menghadap tuhan karena tuhan lebih menyayangi dia daripada aku menyayangi Putra. Dan Putra meninggal karena kanker otak.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Story Ground © 2011 Design by Best Blogger Templates | Sponsored by HD Wallpapers