Untitled

Siang itu pak bos tiba-tiba memanggil gue melalui mbak Winta sekretaris pribadinya, entah ada apa hingga gue dipanggil bos tengah hari gini. Gue pun mulai mencari sendiri alasan kenapa bos manggil gue, di sisi negatif rasa-rasanya gue ga pernah melakukan kesalahan apalagi bikin perusahaan bangkrut, dan disisi positif emang gue pernah bikin sesuatu yang bikin bos senang? Memberikan sesuatu yang bikin perusahaan jadi lebih maju? Sepertinya gak pernah, terus apa yang bikin bos manggil gue.
“Mbak Winta, ada perlu apa ya pak bos manggil saya gini hari?” Tanya gue ke mbak Winta mencari sebuah kepastian.

“Udah kamu samperin aja dulu, saya juga ga tau kamu mau diapain sama pak bos. Palingan disuruh nungging hehe.” Jawab mbak Winta bercanda.

“Walah, kalo mbak yang dipanggil masih mungkin disuruh nungging, nah kalo saya? Emang si bos homo apa?” Ujar gue.

“Loh mana saya tau! Udah kamu masuk sana siapa tau dapet kenaikan jabatan.” Kata mbak Winta.

Sebenernya mbak Winta itu umurnya 1 tahun dibawah gue, tapi karena dia aspri (Asisten Pribadi) bos jadi kita mesti manggil dia seakan dia lebih tua. Dan dia itu adalah junior gue di SMA dulu, karena setelah lulus SMA dia langsung bekerja, sedangkan gue meneruskan kuliah gue sebagai Sarjana Ekonomi. Tanpa ragu lagi walau masih agak degdegan guepun masuk kedalam ruangan bos, setelah mengetuk pintu gue buka pintu kaca cermin satu arah yang menjadi ciri khas kantor ini. Ya karena hampir disetiap ruangan para petinggi pasti menggunakan cermin satu arah, supaya para petinggi tetap bisa melihat kelakuan dari karyawannya dari dalam ruangan sedangkan karyawannya tidak bisa melihat kebobrokan apa saja yang terjadi didalam ruangan itu, hanya orang-orang yang suka keluar masuk ruangan bos yang tau kondisi itu, dan gue salah satunya orang yang suka dipanggil oleh bos.

“Selamat siang pak, bapak memanggil saya?” Tanya gue memastikan dan mencoba menaati norma.

“Iya bar, duduk.” Pak bos mempersilahkan.

“Ada apa ya pak saya dipanggil, apa ada pekerjaan saya yang kurang memuaskan?” Tanya gue lagi.

“Ooh tidak, justru sebaliknya pekerjaan kamu cukup wah dan sangat memuaskan sehingga saya tidak ragu lagi ingin memutasi kamu ke kantor cabang perusahaan ini sekaligus menaikan jabatan kamu. Apa kamu bersedia Bar?” Kata pak bos.

“Hah? Naik jabatan menjadi apa ya pak? Dan di mutasi ke kantor cabang yang dimana? Maaf pak kalau saya banyak bertanya karena saya perlu mempertimbangkan sebelum saya menjawab kesediaan saya.” Ujar gue.

“Oo ya tidak apa-apa Bar, kamu akan dimutasi ke kantor cabang kita yang di Bandung dan posisi kamu disana ya sama seperti saya, sebagai Manager HRD bagaimana?”

“Waw, kalo masalah jabatannya saya sih bisa terima pak, tapi masalah mutasinya saya agak ragu ya pak. Karena saya disini juga masih tinggal bersama ibu saya dan adik-adik saya yang masih harus saya bimbing karena tidak adanya sosok ayah disana.” Jawab gue.

“Yasudah, kamu juga tidak perlu terburu-buru mengambil keputusan kok, saya beri kamu waktu 2 minggu untuk membicarakan ini dengan keluarga kamu dan memikirkannya dengan baik.” Kata pak bos memberikan tenggang waktu.

“Ya kalau begitu saya akan pikirkan pak, kalau bisa sebelum 2 minggu itu saya sudah memberikan jawabannya kepada bapak.”

“Oke, sekarang kamu bisa kembali bekerja Bar, ingat pikirkan ini matang-matang karena kesempatan biasanya hanya datang satu kali.”

“Iya lah bapak, yang datang berulang kali itu kesempitan pak hehehe. Saya pamit pak, permisi.”

Gue pun keluar dari ruangan itu dengan pikiran yang sangat semrawut karena begitu banyak pertimbangan yang harus gue pikirkan dan gue hitung secara matang sebelum akhirnya gue memutuskan menerima atau tidak tawaran itu. Melihat gue keluar dengan wajah terlihat penuh beban Winta mencoba menanyakan keadaan gue sambil bercanda.

“Gimana Bar? Enak gak? Pak bos hebat ya kalo main dari belakang? Hehe.” Tanya Winta sambil bercanda.

“Matamu gendut! Orang pak bos cuman minta oral aja kok.” Jawab gue lebih nyeleneh lagi.

“Hahaha bisa Bar bisa. kenapa sih? Kok kayaknya kamu kayak ada yang dipikirin gitu?” Tanya Winta lagi.

“Yasudahlah kamu jangan nanya terus, nanti ada waktunya semua pertanyaan kamu itu terjawab, lagian pak bos kan juga pasti bakalan kasih tau kamu.” Ujar gue sambil terus berjalan ke meja kerja gue.

Mungkin karena kita berada di divisi HRD (Human Resource Development) jadi suasana kantor dibuat senyaman mungkin seperti cara kita berkomunikasi yang bebas asal sopan, dan bicara personal antar karyawanpun memang kerap terjadi untuk menurunkan tingkat stress. Ya berada didivisi ini adalah sebuah beban yang cukup berat karena pekerjaan kita adalah mengendalikan, mengontrol, mengawasi manusia. Seperti kita ketahui sifat dan tabiat manusia itu tidak ada yang sama jadi pekerjaan di divisi ini cukup menyulitkan.

Sepanjang jam kerja pikiran gue mulai terganggu dengan tawaran dari Bos yang sangat menggelitik dompet tapi rasa tanggung jawab gue terhadap keluarga gue juga merasa terusik kalau gue salah mengambil keputusan. Akhirnya gue putuskan buat mendiskusikan ini bersama keluarga gue dulu terutama dengan nyokap yang biasanya bisa mengambil keputusan dengan baik, entah apa yang ada didalam diri nyokap gue padahal dia itu cuman lulusan SMA tp seakan didalam dirinya punya system DSS (Decision Support System) yang sangat mumpuni. Jam pulang kerja pun tiba dan gue memutuskan untuk mengcancel rencana gue ngumpul bareng temen-temen semasa kuliah gue dulu dan langsung meluncur ke rumah. Baru aja absent terdengar suara wanita memanggil gue dan itu adalah mbak Winta, ternyata dia mau pulang bareng sama gue, ya karena emang rumah kita searah guepun mengiyakan kemauannya itung-itung bisa jadi temen ngobrol buat dijalan nanti, karena jam pulang kerja kayak gini udah bisa dipastiin banget jalanan pasti penuh sesak dan tanpa ampun macetnya.

Diperjalanan pulang kejadian yang sangat menyebalkanpun terjadi, ban motor gue bocor bahkan sempat meledak mengeluarkan suara yang cukup keras dan membuat orang yang mendengarnya mengira itu berasal dari bom buku. Akhirnya mau gak mau gue harus mendorong motor ini sampai ke tukang tambal ban.

“Mbak Winta daripada repot terus mesti nemenin gue dorong-dorong motor macem ini mendingan mbak pulang naik metromini deh, kasian mbaknya kecapean nanti.” Ujar gue menawarkan alternatif buat mbak Winta sampai di rumah dengan selamat dan cepat.

“Eh? Enggak usah gak apa-apa gue temenin lo aja Bar. Kan gue yang minta bareng sama lo dan ini juga bocor bukan direncanakan jadi harus konsekwen dong gue dianterin lo sampe rumah gimanapun caranya.” Jawab mbak Winta.

“Woloh, yakin nih? Yaudah, bantuin dong dorong dari belakang! Jgn cuman jalan doang hahaha.”

Ya seingat gue disekitar sini emang ada tukang tambal ban jadi gak perlu berlama-lama dorong motor gue udah sampe di tukang tambal ban. Guepun menunggu motor gue digarap oleh si lay sambil membunuh waktu gue ngobrol sama mbak Winta, tapi obrolan tiba-tiba menjadi seperti sebuah suasana yang sangat menjurus ke hal-hal yang pribadi, guepun coba untuk mengalihkan suasana dengan cara membahas tentang masa-masa di SMA kita dulu, membicarakan hal itu membuatnya merasa tidak pantas dipanggil mbak karena sadar kalau dia itu adalah adik kelas gue. Akhirnya kita berdua membuat kesepakatan kalo didalam kantor dan jam kerja gue harus tetap memanggil dia mbak Winta, tapi diluar jam kerja dia yang harus manggil gue dengan sebutan Kakak, karena memang gue lebih tua.

Gak lama motor gue udah selesai digarap oleh si tukang tambal ban, perjalanan pulang pun berlanjut, Winta gue anter sampe depan rumahnya dan setelah itu gue langsung pulang berharap malam itu nyokap gue masak makanan yang enak dan adik-adik gue udah selesai bikin PR jadi gue bisa membicarakan tawaran dari bos gue ke mereka dengan nyaman. Bagusnya harapan gue itu benar-benar terjadi, nyokap gue masak sayur asem kesukaan gue dan adik-adik gue udah menyelesaikan PR dengan sangat baik. Sampe rumah gue langsung mandi dan makan, selesai makan gue langsung coba duduk ditengah-tengah mereka di ruang TV.

“Mah, ada yang mau aku omongin.” Ujar gue membuka percakapan.

“Iya mau ngomong apa? Serius banget kayaknya?” Tanya nyokap gue.

“Tauk nih Kakak sok serius, gak pantes Kak sama muka. Hahaha.” Celetuk Rini adik gue yang sekarang sudah duduk di bangku SMA.

“Sstt, ini emang beneran serius tauk! Jadi gini, aku ditawarin kenaikan jabatan jadi manajer HRD di kantor.” Cerita gue.

“Wah bagus dong!” Serentak Rini dan Nyokap gue teriak.

“Iya emang bagus banget, tapi aku harus dimutasi ke bandung. Dan yang aku pikirin tuh gimana mamah, Rini sama Mily kalo aku tinggal di Bandung? Soalnya ga mungkin kan aku bolak balik Jakarta-Bandung?!”

“Kita pindah aja semua ke Bandung kak!” Kata Mily memberi saran. Ya saran Mily emang bener-bener saran yang sangat wajar, maklum dia masih kelas 3 SMP.

“Iya kita bisa aja pindah ke Bandung, tapi gimana sama sekolah kalian berdua? Emang kalian mau pindah sekolah di Bandung? Kalo kalian mau sih gak masalah soalnya disana kakak juga dikasih rumah dinas jadi ga usah pusing mikirin tempat tinggal.”

“Mau kok kak!” Kali ini Mily dan Rini yang serentak berbicara.

“Yakin kalian mau? Kalo menurut mama gimana?” Tanya gue ke nyokap dan meyakinkan kemauan adik-adik gue.

“Mama terserah kamu, disini kamu udah mama percayakan jadi kepala keluarga menggantikan Papa kamu, dan kamu harus bisa mempertimbangkan ini sendiri dengan matang. Dan kamu juga jangan lupa kamu punya Regina pacar kamu, dia juga harus ikut dalam pertimbangan kamu!” Kata nyokap mengingatkan.

Ya gue emang punya pacar yang keluarga kita berdua sudah sangat menyetujui hubungan kita berdua, bahkan sekarang gue sedang mengumpulkan dana untuk meneruskan hubungan kita ke jenjang yang berikutnya. Tanpa pikir panjang guepun langsung menghubungi Regina malam itu juga, kita ngobrol, tertawa, dan terus bercanda sampai akhirnya gue memberi tau maksud sebenernya gue nelfon dia malem ini, tiba-tiba dia terdiam dan tak berkata apapun bahkan setelah gue panggil-panggil.

“Kenapa harus di mutasi? Emang gak bisa jadi manajernya di Jakarta aja?” ujar Regina sambil sesenggukan menangis.

“Ya ampun sayang, kalo yang di Jakarta kan udah ada manajernya, kalo yang di Bandung gak ada, orangnya baru aja resign. Kalo bisa sih aku juga maunya yang di Jakarta aja biar bisa terus deket sama kamu tapi mau gimana lagi? Aku tolak tapi ini kesempatan gede banget buat aku dan mungkin gak ada lagi dilain hari kesempatan kayak gini.” Ungkap gue menjelaskan.

Ga banyak kata-kata yang keluar dari mulut Regina kecuali meminta gue untuk tidak pergi ke Bandung, tapi mau gimana lagi, gue udah merasa ini satu-satunya kesempatan gue untuk terus memperbaiki keadaan ekonomi keluarga dan mengumpulkan pundi-pundi uang untuk biaya hidup dan pernikahan gue bersama Regina nantinya. Jadi sekeras apapun Regina meminta gue untuk gak pindah kerja di Bandung itu sepertinya sebuah hal yang percuma, bukan karena gue gak peduli atau gak sayang sama dia, gue memilih untuk menerima tawaran ini justru karena gue sayang sama dia. Akhirnya gue memberikan 2 kepastian ke Regina supaya dia mau dan mengizinkan gue untuk pindah ke Bandung, yang pertama sebelum gue ke bandung gue bakalan mengikat dia sebagai tunangan gue walau sebenernya gue bukan orang yang suka dengan hubungan bertunangan seperti ini, tapi mau bagaimana lagi ini adalah jalan supaya gue dapet restu dari pacar gue, yang kedua gue bakalan balik ke Jakarta sebulan 2 kali. Dan akhirnya dengan 2 kepastian itu Reginapun mau mengizinkan gue bekerja di Bandung.

Seminggu setelah penawaran bos gue sudah langsung memberikan jawabannya, dan gue menerima tawaran mutasi tersebut, keesokan harinya kepindahan gue langsung di urus, karena gue dan sekeluarga juga ikut pindah jadi agak repot memang, beruntung kantor mau membantu mengurusnya jadi gue gak terlalu dipusingkan. Tapi ada satu hal yang bikin gue sedikit panik, ya tiba-tiba aja kantor memutuskan kepindahan gue dipercepat, paling tidak 2 hari lagi gue udah harus berada di kantor yang di Bandung dan langsung menjalani tugas sebagai manajer HRD yang baru. Padahal planning pertunangan gue dengan Regina baru akan gue langsungkan 5 hari lagi, entah bagaimana dan apa yang harus gue lakuin. Tapi entah apa yang sedang merasuki Regina, dia mendadak bisa langsung menerima kenyataan kalau gue gak jadi melangsungkan pertunangan kita berdua, tapi sebelum gue berangkat gue meminta Regina dateng menemui gue di taman tempat kita berdua biasa menghabiskan waktu karena ada sesuatu yang bakalan gue kasih ke dia.

Namun lagi-lagi seperti tidak ditakdirkan untuk tetap bersama oleh Tuhan, Regina tak pernah datang entah apa yang terjadi, gue telfon ke handphonenya pun gak aktif sampai akhirnya gue gak lagi bisa menunggu dia dan gue harus segera pergi. Ya rasanya cukup menyakitkan dimana mulai hari ini gue bakalan jauh dari dia dan beberapa janji sebelum gue berangkat tidak dapat terlaksana, tapi gue harus tetap percaya kalo hubungan gue dan Regina bakalan tetap baik-baik aja sampai nanti masanya kita berdua bisa merealisasikan rencana serta impian kita. Gue dan keluarga gue berangkat ke Bandung dengan menaiki mobil kantor yang sekaligus langsung di supirin jadi gue bisa bersantai sepanjang perjalanan, tapi apa bisa gue bersantai-santai sedangkan Regina pacar gue sama sekali ga ada kabarnya, pikiran gue jadi ruwet, sebentar-sebentar guepun melihat layar handphone berharap ada SMS dari Regina atau telfon dari dia namun sampai akhirnya gue di Bandungpun gak pernah ada kabar dari dia, Nyokap berulang kali nanya apa gue udah bertemu dengan Regina, dengan jujur gue pasti menjawab belum karena memang pada kenyataannya gue belum bertemu dengan dia.

Semua urusan di Bandung sudah selesai, gue cuman tinggal melaksanakan pekerjaan sebagai Manajer HRD yang baru disini, pagi-pagi sekali gue udah berangkat ke kantor dan guepun dikagetkan dengan keberadaan seseorang yang gue kenal duduk dimeja sekretaris manajer depan ruangan gue, ya itu dia Winta walau pada awalnya agak ragu menyebut kalau dia itu benar Winta sekretaris bos gue yang di jakarta.

“Winta? Kok lo disini?” Tanya gue heran.

“Hehe, selamat pagi pak Barry, selamat datang di kantor baru.” Sapa Winta.

“Pak Barry? Maksudnya apa nih?” Gue semakin heran gak mengerti maksud dari keberadaan Winta dan maksud dari Winta memanggil gue dengan sebutan pak Barry.

“Silahkan masuk ke ruangan baru bapak, semoga ruangannya nyaman ya pak.” Ujar Winta.

Guepun melangkah masuk ke ruangan gue yang ternyata mirip dengan ruangan manajer di Jakarta, ya seperti biasa ciri khas ruangan manajer di kantor ini adalah dengan penutup cermin satu arah. Gak lupa gue juga meminta Winta ikut masuk ke ruangan gue, dan disitu gue baru tau kalau gak cuman gue yang dimutasi ke sini, tapi Winta juga ikut di mutasi dan dia tetap menjabat sebagai sekretaris manajer tapi bedanya sekarang gue manajer dia, Winta diminta untuk ikut membimbing gue menjalani tugas sebagai manajer baru karena pengalaman Winta menjadi seorang sekretaris manajer selama beberapa tahun bisa memberikan gue beberapa masukan yang cukup bagus sepertinya.

“Wah berarti kesepakatan kita gagal dong nih Win?” Kata gue.

“Kesepakatan? Ooh hahaha, iya sekarang malah jabatan lo lebih tinggi dari gue kak, dan gue malah yang mesti panggil lo bapak.” Ujar Winta.

“Haha, gak apa-apa Win kita bikin kesepakatan baru aja gimana? Kalo di kantor lo mesti kayak tadi manggil gue pak tapi kalo udah diluar jam kerja seperti biasa lo tetep junior gue dan harus panggil gue kak haha, deal mamen?”

“Iyaa, yaudah nanti jam 10 ada jadwal ketemu sama direktur, buat penyambutan kita.”

“Ooh oke, yaudah sana balik kerja! Gue juga masih ada urusan ini ngerapihin file yang ditinggalkan penghuni lamanya.”

Sudah 2 minggu gue disini dan gue berencana pulang ke Jakarta untuk menemui Regina karena gue mau nepatin janji gue untuknya, walau selama 2 minggu gue disini gak ada satupun kabar dari dia, gue telfonpun nomornya gak aktif sama sekali, entah apa yang terjadi dengannya, gue coba telfon keluarganya di Malang juga sama sekali tidak ada tanggapan, mereka bilang Regina baik-baik saja dan masih ada di Jakarta. Sampai di Jakarta gue coba sambangi kost Regina, tapi ibu kost bilang kalau Regina sudah gak kost lagi disitu, guepun coba untuk datang ke taman tempat dimana waktu itu gue minta Regina untuk datang, tapi dari sore hingga malam gue tunggu tak ada tanda-tanda Regina akan datang. Gue bener-bener merasa kehilangan dan gak tau lagi mesti gimana, teman-teman Regina pun seakan tutup mulut dan selalu bilang kalau mereka sudah lama gak melihat Regina, pikiran gue semakin kalut dan sulit berpikir jernih.

Sudah sekitar 6 bulan gue disini mulai gue jalani dengan sangat baik dan bisa dibilang tanpa cacat, kinerja di kantor cabang inipun meningkat dan gue mendapat kenaikan gaji karena mampu membuat profit perusahaan bertambah pesat. Tidak hanya itu, kedekatan gue dengan sekretaris gue pun juga bisa dikatakan tidak terlihat seperti hubungan kerja, melainkan seperti sebuah hubungan spesial, tapi gue masih terus memikirkan Regina yang sampai sekarang gue gak tau keberadaan dan keadaannya, gue masih terus coba menepati janji untuk datang ke Jakarta 2 Minggu sekali tapi sama sekali gak ada perubahan, gue dan Regina seperti dikutuk untuk tidak lagi bertemu. Hingga akhirnya guepun benar-benar kehilangan arah dan tertarik dengan wanita lain, ya Winta, sekretaris gue yang selalu setia menemani gue dalam hal bekerja ataupun dikehidupan sehari-hari, gak lama gue jadian sama Winta walau belum bisa melupakan Regina sebagai orang yang gue anggap sebagai everlasting gue.

Winta bukan orang yang kolot, dia tetap membiarkan berada ditengah bayang-bayang Regina, dia sepertinya benar-benar mencintai gue, dia mengizinkan gue kembali ke Jakarta selama 2 minggu sekali menepati janji gue dengan Regina, sampai saat gue dan Winta anniversary di tahun yang pertama, gue bersama Winta pulang ke Jakarta, gue coba menepati janji gue sedangkan Winta memang harus menghadiri acara keluarganya. Tapi yang sangat mengejutkan kali ini Winta mau menemani gue duduk menunggu kehadiran Regina di Taman itu, tapi ketika bersama Winta sepertinya bayangan Regina sedikit memudar, gue bersenang-senang bersama Winta disana dan akhirnya hal itu menjadi sebuah kegiatan rutin untuk kita berdua, 2 minggu sekali pulang ke Jakarta mendatangi taman itu ataupun sekedar pergi refreshing.

Sampai suatu saat, gue dan Winta sudah menjalin hubungan special selama 1,5 tahun dan kegiatan rutin mendatangi taman itupun tetap kami jalani, saat sedang duduk santai sambil menikmati ice cream tiba-tiba seorang wanita dengan kursi roda datang menghampiri kami, aku tidak tau dan tidak ngeh sama sekali, Winta memberikan uang receh untuk wanita itu, tapi wanita itu malah menangis dan menyapa gue dengan suara lembut.

“Barry ...” Sapanya.

“Ya?!” Guepun menoleh ke arah wanita itu dan entah apa yang sedang direncanakan tuhan saat itu, ya Regina tepat berada didepan wajah gue saat ini, lebih dari 1,5 tahun gue terus mencari keberadaannya dan tidak kunjung menimbulkan kabar baik sekarang kau hadirkan dia dihadapanku Tuhan? Apa yang sedang engkau kehendaki?!

Gue ga bisa berbicara banyak saat itu, gue cuman bisa melongo melihat keadaan Regina yang sekarang sudah menggunakan kursi roda.

“Apa kabar kamu Bar?” Tanya Regina.

“Eh? Aku baik, kamu kemana aja?” Tanya gue dengan sedikit judes, mungkin karena kesal selama ini dia menghilang tanpa kabar apapun dan sekarang dia kembali saat gue sedang berbahagia dengan Winta.

“Aku cari minum dulu ya, kalian ngobrol aja dulu berdua.” Kata Winta sambil berlalu pergi.

“Aku minta maaf waktu kamu mau berangkat ke Bandung aku gak bisa nepatin janji aku buat nemuin kamu disini, aku tau kamu marah dan sekarang aku juga tau kamu udah sedang dalam proses ngelupain aku, maka itu sebelum kamu bener-bener ngelupain aku, disini aku, dihadapan kamu aku dateng karena aku pikir mungkin ini adalah hari terakhir aku ngeliat kamu dan bisa bicara sama kamu, aku tau kalian berdua udah bahagia dan mungkin emang dia yang pantes buat jadi tunangan bahkan jadi istri kamu Bar. Sekarang kamu udah bukan Barry yang dulu, kamu udah punya jabatan, kamu udah punya karir, kamu bahkan punya segalanya, sedangkan aku? Aku gak punya apa-apa.” Ucap Regina panjang lebar.

“Sekarang kamu gak usah ngomong terlalu banyak dan bikin seakan-akan kamu itu orang yang paling buruk di dunia ini, aku cuman mau tau alasan kamu gak nepatin janji kamu waktu itu! Kamu tau? Ibu sampe sakit gara-gara aku gak bisa nemuin kamu dan nepatin janji aku buat nikahin kamu, beruntung Winta bisa gantiin peran kamu sampe sekarang jadi ibu bisa sehat lagi seperti biasa.” Ujar gue.

“Iya Alhamdulillah ya Bar, ada Winta yang bisa gantiin aku, bahkan lebih baik dari aku.”

“Gin, kamu tau? Sekalipun Winta bisa gantiin peran kamu di mata ibu, tapi masih selalu ada kamu dipikiran aku, aku masih selalu nunggu waktu buat ketemu kamu, sekalipun kalo akhirnya aku cuman bisa ketemu sama nisan kamu aku bakalan tunggu waktu itu sampe kapanpun!”

“Aku minta maaf Bar, aku bener-bener minta maaf.”

“Gak perlu Gin, aku udah maafin kamu! Aku udah maafin kamu bahkan waktu kamu bener-bener menghilang dari kehidupan aku tanpa ada penjelasan! Aku cuman mau ngasih ini ke kamu waktu itu sebagai tanda kalo kamu adalah milik aku selamanya, kamu adalah orang yang bakalan selalu melangkah buat aku, tapi apa? Gak pernah aku melihat kamu, bahkan kabar kamupun gak pernah, aku cari kesana kemari gak pernah bisa aku temuin kamu Gin!” Guepun mulai meneteskan air mata saat gue mengeluarkan gelang kaki pemberian ibu yang telah diamanatkan ke gue untuk gue kenakan ke kaki kanan Regina.

“Ya, aku tau Bar. Sekarang benda itu gak akan pernah bisa melingkar di kaki kanan aku, dan aku rasa Winta lebih pantes dan lebih cocok untuk gelang kaki itu.”

“Oke, mungkin emang Winta yang lebih pantes tapi aku gak bisa, ini amanat dari ibu dan aku bener-bener bakalan memenuhi amanat itu, dan juga aku sayang sama kamu posisi kamu mungkin udah terganti, tapi keberadaan kamu di hidup aku gak mungkin terganti. Sekarang izinin aku buat masangin gelang ini di kaki kanan kamu, aku mohon! Setelah ini kalau kamu emang mau menghilang selama-lamanya dari hidup aku silahkan!.”

“Ya aku mau, tapi setelah ini aku gak akan pernah menghilang lagi dari kamu, aku mau jadi sahabat kamu, itupun kalo emang kamu izinin dan Winta mengizinkan.”

Gue tanpa ragu langsung jongkok dan menyingkap rok panjang yang dikenakan oleh Regina untuk mellingkarkan gelang kaki ke kaki kanan Regina tapi saat itu juga darah gue seakan berhenti mengalir dan rasanya gue ga bisa nahan badan gue untuk tetap berada di posisi jongkok, guepun terjatuh duduk melihat semuanya.

“Kenapa Bar?” Tanya Regina.

Ternyata benar kata Regina kalo dia gelang itu gak bakalan pernah melingkar di kaki kanannya karena kini dia gak lagi memiliki kaki kanan, dia cuman memiliki kaki kiri, itulah sebabnya dia menggunakan kursi roda. Rupanya saat hari itu, Regina sudah ingin menepati janjinya untuk datang, tapi apadaya Tuhan berkehendak lain, kecelakaan menimpa dirinya dan kakinya terpaksa di amputasi, selama ini dia menghilang dan sebenernya selama gue mencari dia di taman ini dia selalu dateng dan melihat gue, tapi keadaannya membuat dia merasa gak bisa menemui gue, dia merasa kalo dia benar-benar udah bukan Regina yang dulu. Dia cacat, dia kekurangan dia gak pantas buat gue, itu yang selama ini ada dipikirannya. Dan sekarang semua sudah terlambat, penyesalan memang selalu datang belakangan, padahal kalau saat itu dia datang menemui gue mungkin keadannya gak akan seperti ini, gue yang selalu sayang sama dia bisa nerima dia apa adanya, dan air mata gue sekarang gak bisa mengembalikan keadaan Regina seperti dulu, Regina tetap akan seperti itu. Gue memberikan gelang itu dan mengenakannya di tangan kanan Regina, setelah itu dia pergi dan berjanji gak akan pernah ganggu hubungan gue dengan Winta.

Sampe seterusnya gue gak pernah bertemu lagi dengan Regina, tapi sesungguhnya Regina masih menempati sisi sempit didalam hati gue, gue harap dia bisa bahagia dengan semua keadaannya, gue juga meminta maaf karena gue gak sempet meminta maaf sebelum kepergian dia ya wajar aja karena gue terlalu shock waktu itu.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Story Ground © 2011 Design by Best Blogger Templates | Sponsored by HD Wallpapers