Anak Itu Tak Berdosa

Sepulang kampus gue kelaperan, dan begitu sampe rumah gue harus dihadapkan dengan sebuah kenyataan yang cukup menyakitkan, ternyata orang-orang rumah gue baru pada pulang makan di restoran. Akhirnya gue memilih untuk beli nasi goreng ditempat langganan gue, dengan bergerak cepat karena takut perut gak mau lagi diajak untuk negosiasi guepun langsung mengeluarkan sepeda lipat putih kesayangan gue, dan gowes menuju tukang nasi goreng yang berada tepat didepan kompleks perumahan rumah gue. Gak sampe 5 menit gue udah mendarat dengan selamat di nasi goreng botak langganan gue.

“Tak nasi goreng 1 ya makan disini.” Pesan gue sambil mengambil posisi tempat duduk yang nyaman.

Karena si botak juga lagi banyak pesanan jadi gue terpaksa menunggu, gue pun mengeluarkan handphone dan menyetel music player untuk membunuh bosan. Belum sempat menyalakan music player dari handphone gue, tiba-tiba gue denger suara perempuan yang tidak asing buat gue sedang memesan nasi goreng juga, sontak gue langsung melihat ke arah asal suara itu. Ternyata benar, itu adalah Dini salah satu teman lama gue bersama dengan seorang anak perempuan yang lucu dan cantik memegang boneka Bernard Bear putih.

“Eh?Dini ya?” Sapa gue memberanikan diri, kalopun salah paling cuman malu terus minta maaf selesai.

“Loh Bani? Apa kabar lu? Udah lama banget gak ketemu hahaha.” Jawab dia dengan sedikit heboh sambil mengambil tempat duduk tepat didepan gue.

“Hahaha baik gue, lu gimana? Wah gila makin cantik aja lu ternyata, tau gitu dulu gue gak nolak lu deh.” Ujar gue menggoda.

“Ish apaan sih? Gue kali yang nolak haha, lu sekarang kuliah kerja Ban?” Tanyanya.

“Kuliah gue Din, wah ini adek lu? Cantik bener, mirip banget sama lu.” Tanya gue sambil nyubit pipi anak itu dengan pelan.

“Adek gue darimana? Kan lu tau gue anak terakhir!” Jawab Dini.

“Lah terus ini? Anak?” Tanya gue dengan sedikit memelankan suara.

Dini hanya mengangguk dan menyuruh anaknya salam sambil berkenalan dengan gue. Agak sedikit kaget memang mendengar pernyataan Dini itu, tapi ketika gue melihat wajah cantik, lucu, polos dari Reni anaknya gue harus berusaha menahan air mata gue agar tidak jatuh dan Dini melihat gue menangis. Gue seperti ini karena merasa kasihan dan teringat dengan masa lalu gue dan Dini, tapi Dini gak seberuntung gue yang bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan dimasa itu.

Ya, gue dan Dini memang bukan orang baik-baik, waktu SMA kita sama-sama penghisap ganja dan alcoholic, tapi say no to rokok. Aneh memang kenapa kita berdua tidak pernah merokok karena menurut kita berdua ada sebutan “perokok passif” dan itu disebut-sebut lebih berbahaya daripada “perokok aktif”, kita berdua gak mau membayakan orang lain disetiap kegiatan kita, makanya kita lebih memilih untuk menggunakan ganja karena tidak ada sebutan “pengganja passif” hehe. Belum sampai disitu saja kebobrokan gue dan Dini, hampir setiap malam kita berdua sering menghabiskan waktu ditempat pelacuran, namun Dini bukanlah seorang pelacur dan gue juga bukanlah seorang lelaki hidung belang yang serta merta menyewa jasa dan tubuh para pelacur itu.

Gue dan Dini hanya berteman dengan para penjaja seks komersial yang nyatanya notabene rata-rata umurnya memang masih seumuran dengan gue bahkan ada yang beberapa tahun dibawah gue, waktu gue SMA berarti mereka masih SMP dan mereka sudah menyewakan tubuh mereka untuk para orang-orang yang haus akan kenikmatan dunia. Rata-rata awalnya mereka menjadi seperti itu memang sangat klise dan mudah kita jumpai disekitar kita, mereka terlalu percaya dengan pacarnya sampai memberikan keperawanan mereka untuk pacarnya, lalu sang pacar meninggalkan mereka begitu saja, merekapun sakit hati dan frustasi akhirnya mencari pelampiasan dan pada ujung cerita merekapun terjebak didalam lembah ini. Tapi ada juga yang mempunya versi lain, yaitu ketika mereka memberikan keperawannya kepada pacarnya, sang pacar kabur tapi mereka sudah teracuni oleh seks yang membuat mereka ketagihan akan hal itu dan akhirnya seks menjadi sebuah kebutuhan untuk mereka, karena tak jarang ada pelacur yang menjalani pekerjaan haramnya itu dengan terpaksa tapi karena mereka memang suka, tapi jangan sampai hal ini menjadi sebuah cita-cita bagi anak-anak penerus bangsa kita nanti, kan gak lucu kalau nanti waktu TK ada seorang anak perempuan ditanya cita-citanya merekapun menjawab ingin menjadi seorang pelacur, itu akan menjadi akhir dari dunia gue rasa kalau sampai terjadi. Dan masih banyak lagi alasan-alasan yang membawa para wanita itu masuk ke dalam lembah yang dindingnya amat sangat curam dan licin ini sehingga sulit rasanya untuk keluar. Tapi dari semua alasan-alasan klise tersebut gue terpikir tentang sebuah perumpamaan yang bagus untuk para pria “Ketika lu melakukan seks dengan cewek lu itu berarti dia sedang membawa dia ke pinggir jurang, dan ketika lu tinggalin dia tanpa kejelasan itu berarti lu sudah mendorong dia kedalam jurang yang gelap itu.”

Dini saat itu punya pacar baru, seorang laki-laki yang dari luar tampak sangat bertanggung jawab dan kata-katanya yang meyakinkan, tapi entah kenapa gue agak kurang suka dengan laki-laki ini. Gue pikir dengan bersama laki-laki ini sebagai pacarnya Dini akan berhenti dan tidak lagi berkumpul dengan gue dan beberapa teman lain ditempat berlumuran dosa ini tapi ternyata tidak, justru laki-laki ini juga ikut nimbrung bersama kami. Entah ini gue sebut sebagai pertanda baik atau justru malah buruk, seharusnya seorang pacar yang baik membawa pacarnya keluar dari kehidupan yang kurang baik tapi ini malah membuat Dini semakin sering datang ke tempat itu. Gue dan Dini memiliki sebuah perjanjian sakral yang tidak boleh dilanggar yaitu kita berdua tidak boleh kehilangan keperawanan dan keperjakaan kecuali dengan istri atau suami yang sah, tapi ketika kepepet dan tidak ada pilihan lain kita berdua harus memanfaatkan seorang sahabat. Maksudnya, kalo gue kepepet dan gak bisa menahan gejolak hasrat seksual yang sudah menggebu gue hanya boleh melakukannya dengan Dini kalau gue belom punya istri, begitu juga dengan Dini yang hanya boleh melakukannya dengan gue kalau belom punya suami.

Tapi sepertinya semua itu hanya tinggal sebuah janji sahabat yang telah terlupakan, karena tanpa gue ketahui Dini melakukan hubungan badan dengan pacarnya itu, sakit ketika gue mendengar kenyataan tersebut dari seorang teman yang memang melihat Dini melakukannya di salah satu kamar tempat pelacuran tersebut. Tapi gue coba untuk ngerti dan paham, memang janji itu konyol dan sangat bodoh, Dini berhak melakukannya dengan siapa saja jika memang dia mau, namun ternyata janji itu memang benar-benar janji yang sakral ketika beberapa bulan kemudian pacarnya Dini meninggal karena sebuah penyakit yang amat sangat menakutkan bagi sebagian orang, HIV/Aids. Ketika meninggal ada sebuah surat yang ditujukan untuk Dini, disurat itu dia meminta maaf kepada Dini karena telah pergi meninggalkannya dan dia pergi menitipkan sebuah virus yang telah bersamayam di tubuhnya selama 3 tahun. Di akhir surat itu tertulis “suatu saat aku akan jemput kamu Din, aku sayang kamu.”

Sontak Dini kaget dan dengkulnya terasa lemas ketika mendapat sebuah kenyataan kalau pacarnya yang dia percaya dan dia sayang itu ternyata memberikan virus mematikan untuknya. Awalnya gue merasa masih ada kemungkinan Dini lolos dari penularan sehingga gue mengantar Dini untuk memeriksakan kesehatannya sekarang, tapi ternyata virus itu memang sudah mulai menggerogoti tubuh Dini. Menangis, sedih, kesal, marah, dan menyesal menjadi satu, ya begitu Dini merasa bersalah kepada kedua orang tuanya dan dengan gue yang sudah menawarkannya perjanjian yang sebenarnya bisa menyelamatkan dia dari  keadaan seperti ini, tapi apalah daya manusia? Semua ini sudah terjadi dan tak bisa lagi dihindari kita hanya bisa menerimanya dan terus melanjutkan kehidupan seperti sebelumnya.

Setelah kejadian itu intensitas gue mengunjungi rumah pelacuran itu sudah sangat jarang, gue lebih memilih menjaga Dini karena dia benar-benar gue anggep sebagai seorang yang berarti, dia gue anggep sebagai adik perempuan gue karena gue juga memang sangat menginginkan seorang adik perempuan. Tapi keharmonisan seperti itu hanya berjalan sekitar 1 bulan karena setelah itu Dini seperti menghindar dari gue, dan terakhir gue ketemu dia itu saat gue jemput dia dari sekolahnya lalu pergi mencari bahan-bahan membuat sebuah kerajinan tangan untuk tugas sekolah, setelah itu gue gak pernah lagi bertemu dengannya, sering gue coba buat menemui Dini tapi dia selalu menghindar dan SMS terakhir dari dia adalah ucapan terima kasih dan permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada gue, dia gak mau bikin gue malu karena dekat-dekat dengan orang yang terjangkit virus memalukan dan mematikan. Padahal gak ada sama sekali gue ngerasa malu deket sama dia, justru gue bangga bisa jadi orang yang ngejaga dia terus tapi yasudah, gue ga bisa maksa keputusan Dini saat itu dan gue memilih untuk pergi dari hidup Dini, dan keputusan gue itu juga yang membawa gue untuk berhenti dari dunia kelam yang pernah gue jalanin bareng Dini, Ganja, Alcohol, dan pergaulan dengan para pelacur gue tinggalin untuk kehidupan yang lebih baik.

Dan kini gue bertemu lagi dengan Dini, gue coba untuk melepas kangen dengan dia, sepanjang di tempat tukang nasgor itu gue banyak ngobrol, Dini kini udah jadi orang yang sangat kuat, dia tegar, dia hebat. Dia cerita anak ini adalah hasil pernikahannya dengan seorang pria yang juga terjangkit virus HIV/Aids, dia bertemu dengan pria itu di sebuah LSM. Dini menikah kecil-kecilan hanya ada keluarga dari dia dan mempelai pria saja yang hadir disana jadi wajar saja kalau gue sama sekali tak tersentuh kabar membahagiakan tersebut. Tapi melihat wajah polos dari Reni gue merasa kasihan dan sedih, dia gak tau apa-apa, dia gak salah apa-apa tapi dia harus menanggung sebuah kenyataan yang tidak seharusnya dia tanggung.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Story Ground © 2011 Design by Best Blogger Templates | Sponsored by HD Wallpapers