Tolong Kembalikan

Cerita ini adalah cerita yang sudah lama beredar tapi karena menurut gue cerita ini punya arti dari inti cerita yang sangat hebat dan bagus maka gue coba kembangin dengan versi gue tanpa membuang inti dan nilai-nilai dari cerita aslinya. so cekidrot!


Aku adalah Fia, Safiah lengkapnya. Aku berasal dari salah satu kota di pulau Jawa bagian timur, kota Malang namanya. Sekarang aku bekerja di Jakarta, kota metropolitan yang tak pernah tidur katanya, mungkin aku memang hanya wanita desa yang lugu dan sama sekali tidak tau bagaimana kehidupan di kota besar ini. Aku akui kehidupan di kota ini memang agak berbeda dengan daerah asalku, disini terasa sekali gaya hidup individual para warganya ya sangat berbeda dengan kampungku yang hangat dengan suasana kekeluargaan. Aku tidak sendirian datang ke Jakarta, aku diajak oleh salah seorang kerabat dari ibuku. Ibu Rona namanya, dia adalah nyonya dari tuan Edwin dan aku diajak olehnya untuk menjadi seorang pembantu di rumahnya di Jakarta. Aku yang sampai sekarang tidak bisa membaca dan menulis karena memang sekolah dasar saja aku tidak mengenyamnya karena alasan ekonomi saat itu merasa mendapat kesempatan besar, tentu saja dengan keadaanku sekarang ini tidak akan ada pekerjaan yang pantas untukku, bermimpi untuk bekerja sebagai cleaning service dikantoran saja aku tak berani karena memang aku pikir setidaknya untuk bekerja di kantoran harus bisa baca dan tulis, sedangkan aku hanya mengenal angka dan tidak mengenal huruf.

Saat tuan Edwin dan nyonya Rona menawarkan pekerjaan untuk menjadi pembantu rumah tangga kepadaku aku merasa sangat senang sekali, karena semua pekerjaan yang akan aku lakukan adalah pekerjaanku sehari – hari di rumah jadi aku tidak akan merasa kesulitan untuk menjalankannya. Hari itu juga aku langsung dibawa ke Jakarta, sesampainya di rumah yang cukup tidak terlalu besar itu aku dipertemukan dengan seorang gadis kecil bernama Ester yang baru berumur 6 tahun, dia adalah buah dari perkawinan nyonya Rona dan tuan Edwin. Saat pertama bertemu dengannya aku merasa disambut dengan sangat hangat oleh gadis kecil yang belakangan aku ketahui dia sangat menyukai menggambar. Ester adalah gadis kecil yang cantik dan ceria serta sangat ramah, itulah penilaianku saat awal aku bertemu dan berkenalan dengannya.

Dua minggu sudah aku bekerja di rumah ini, sejauh ini pekerjaanku masih berjalan dengan baik. Nyonya Rona dan Tuan Edwin setiap hari sibuk bekerja, mereka berangkat ke kantor masing - masing pukul setengah 7 sekalian mengantar Ester kesekolahnya. Sedangkan aku di rumah dan melakukan pekerjaan rumah tangga seperti bersih – bersih, memasak dan lain – lain, saat siang hari Ester pulang sekolah dengan diantar mobil antar jemput dan biasanya sepulang sekolah Ester langsung ganti baju dan mengajakku bermain, karena kebetulan setiap Ester pulang sekolah itu adalah saat dimana aku sedang beristirahat.

Lama kelamaan aku menganggap Ester seperti adikku sendiri, setiap hari kami menggambar bersama, menggambar apapun yang ada didalam imajinasi anak kecil ini. Aku akui gambar anak ini sudah melebihi level anak – anak seumurannya, ya mungkin ini hanya penilaianku yang masih sangat jauh dari kata awam untuk menilai sebuah gambar lukisan. Pernah disatu kesempatan aku bertanya pada Ester tentang cita – citanya, aku rasa karena dia terlahir di keluarga yang cukup mampu untuk membeli susu perkembangan otak anak sehingga jawaban anak ini sangat mengagumkan.

“Ester waktu besar nanti mau jadi apa?” Tanyaku.

“Kakak udah bisa liat sendiri aku mau jadi apa waktu besar nanti, tentu saja jadi pelukis dong karena aku suka sekali menggambar.” Jawabnya dengan yakin.

“Oh iya, pantes Ester suka banget gambar – gambar. Sampe – sampe tembok kamar kamu penuh sama hasil lukisan tangan kamu hehe.” Ujarku.

“Iya dong kak, aku mau jadi pelukis yang terkenal kak.” Katanya mendeskripsikan keinginannya.

“Amin, kakak doain kamu bisa jadi pelukis yang terkenal kelak nanti ya.” Aku mengamini cita – citanya yang sangat hebat.

Aku yakin bahkan sangat yakin kalau Ester pasti akan menggapai cita – citanya suatu saat nanti, karena sejak dini saja dia sudah terlihat sangat berbakat. Darimana aku tau dia berbakat sedangkan aku tidak mengerti apa – apa tentang lukisan, ya walaupun aku tidak pernah bersekolah tapi aku tau apa yang dilakukan oleh anak – anak lain di sekolah, pada saat pelajaran menggambar sang guru menerangkan tentang tata cara menggambar dari dasar hingga menjadi sebuah gambar, dan sejak dahulu hingga sekarang gambar yang didiktekan kepada anak – anak murid hanya satu yaitu gambar pemandangan dipegunungan dan digambar itu tidak pernah berubah sejak dulu, setiap tahun seperti itu terus menerus. Sedangkan Ester saat teman – temannya hanya mampu mengikuti dikte dari guru untuk menggambar panorama pegunungan, dia sudah sepuluh langkah lebih maju, dia satu – satunya anak yang menggambar pemandangan di sebuah pantai dan hasilnya sangat bagus menurutku, tapi apa daya malang tak dapat di tolak justru dia mendapat nilai yang paling kecil daripada teman – temannya, namun hal itu tidak membuatnya bersedih justru dia merasa senang karena bisa menggambar sesuatu yang lain dari teman – temannya. Hal ini aku tau saat aku sedang menjemputnya di sekolah karena disuruh oleh nyonya waktu itu.

Kesenangan Ester dalam dunia menggambar terkadang membuatnya jadi terlihat seperti anak autis, dia hanya fokus kepada kesukaannya dan kadang tidak perduli dengan apa dan dimana dia mengguratkan coretan – coretan tangannya itu. Bahkan saat aku sedang mandi dan ketika aku masuk kedalam kamarku, aku dikejutkan oleh gambar – gambar yang ada ditembok kamarku, ini tentu saja ulah Ester aku tau, dan aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Ester termasuk anak yang kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya, bayangkan saja waktu bertemu dengan orang tuanya hanya pada pagi hari sebelum berangkat sekolah saat orang tuanya pulang dari kantor dia sudah tertidur pulas, pada hari sabtu atau minggu kedua orang tuanya biasanya ada dinas ke luar kota. Jadi tentu saja Ester jadi lebih dekat denganku yang hampir setiap saat bersamanya.

Suatu hari datang sebuah mobil keluaran terbaru berwarna hitam mengkilap ke rumah, aku memang sudah dipesankan oleh tuan jika ada mobil yang datang terima saja karena memang hari itu mobil yang dibeli tuan akan datang, selama ini mobil yang ia gunakan adalah milik kantor. Aku agak sedikit bingung saat itu karena aku diminta untuk menandatangani surat tanda terima sedangkan aku tidak bisa membubuhkan tanda tangan, terang saja di KTP yang aku miliki saja tidak tertera tanda tanganku, yang ada disitu hanyalah cap jempol kiriku. Aku sempat ditertawakan oleh petugas yang mengantarkan mobil itu karena tidak bisa memberikan tanda tangan, habis mau bagaimana lagi membaca saja aku sulit, dan akupun membubuhkan cap jempolku ke surat tanda terima itu.

Saat mobil baru itu datang Ester belum pulang dari sekolahnya, dan akupun langsung melanjutkan pekerjaanku di dapur setelah menerima mobil itu. Tak beberapa lama kemudian Ester pun pulang dan dia merasa kaget melihat ada mobil yang berbeda dengan mobil yang dimiliki ayahnya terparkir digarasi rumah, dia menanyakannya kepadaku siapa pemilik mobil yang ada digarasi.

“Kak itu mobil siapa?” Tanyanya dengan wajah polos.

“Itu mobil baru ayah sayang, bagus ya?” Jawabku sambil mencoba untuk berinteraksi dengannya.

“Iya bagus kak.” Ujarnya.

“Itu untuk ajak Ester jalan – jalan deh pasti makanya ayah beli mobil baru, katanya ayah hari ini mau pulang cepat dan ingin mengajak Ester pergi ke rumah nenek. Sekarang Ester ganti baju dulu terus makan siang ya.” Kataku menyampaikan pesan orang tuanya.

Ester terlihat sangat senang mendengarnya diapun langsung bergegas pergi ke kamarnya untuk mengganti bajunya dan akupun melanjutkan pekerjaanku yang kebetulan belum selesai karena aku diminta membuatkan makanan untuk dibawa sebagai buah tangan saat pergi ke rumah neneknya Ester nanti. Pekerjaanku itu membuat aku lengah untuk mengawasi Ester, entah apa yang terjadi saat itu Ester agak sedikit lama mengganti bajunya. Biasanya setelah mengganti baju dia langsung datang kepadaku untuk minta disuapi makan dan biasanya dia tidak selama ini. Tapi aku tidak berpikir buruk tentang keadaan ini, aku pikir Ester sedang mempersiapkan dirinya untuk pergi bersama kedua orang tuanya mengunjungi rumah neneknya hari ini, karena hal ini merupakan suatu hal yang langka untuknya jadi wajar kalau dia mempersiapkan sesuatu. Tak beberapa lama kemudian Ester datang kepadaku seperti biasa dan aku langsung menyuapinya makan, tapi kali ini agak sedikit berbeda biasanya Ester selalu menggambar saat sedang makan tapi ini tidak, dia hanya mencoba untuk menyusun puzzle saat itu.

Aku belum selesai menyuapi Ester dan jam dinding besar di ruang keluarga menunjukan pukul 1 tepat tiba – tiba saja terdengar suara teriakan keras dan memanggilku, aku tau itu adalah suara tuan sehingga aku bergegas menghampirinya. Ketika aku berhadapan dengannya tidak ada banjir tidak ada longsor tuan memarahiku, dia marah dan menanyakan ada apa dengan mobil yang baru saja dia beli. Tentu saja aku tidak tau menau karena setelah menerima mobil itu aku sibuk didalam rumah dan sama sekali tidak keluar rumah sama sekali, tapi tuan tidak percaya dengan keteranganku diapun menyeretku ke garasi dan beliau menunjukan apa yang terjadi dengan mobil barunya. Akupun tak dapat berkata apa – apa saat melihat mobil yang tadi aku terima terlihat sangat bagus dan mewah dengan warna hitamnya kini telah berubah menjadi mobil yang penuh dengan baretan.

Aku masih tetap mengelak dan berkata kalau aku tidak tau apa – apa mengapa bisa terjadi seperti ini karena memang aku tidak mengerti kenapa ini semua bisa begini, tiba – tiba Ester muncul dari dalam rumah dan berlari memeluk ayahnya lalu berkata sebuah pengakuan yang menurutku sangat terlarang.

“Ayah itu gambarnya aku yang buah lho, bagus kan yah?” Aku ester, ya yang dimaksud gambarnya itu adalah baretan – baretan yang sudah merusakan cat mobil baru itu.

Tentu saja kata – kata itu membuat ayahnya geram dan gelap mata, diambilnya pipa yang agak sedikit tebal yang berada di pinggir tembok garasi dan kemudian tangan Ester pun diraihnya lalu dipukulnya berkali, aku tau pukulan itu tidak pelan tapi sangat keras. Ester seketika menangis tidak mengerti mengapa ayahnya melakukan itu, nyonya Rona yang sejak tadi juga berada disana hanya diam melihat anak yang dilahirkan dari rahimnya itu mendapat perlakuan yang tidak seharusnya, sedangkan aku? Tidak ada yang dapat aku lakukan kecuali melihat Ester yang menangis sambil meneteskan air mataku karena iba. Entah berapa kali ayahnya memukul tangannya dengan pipa itu dan setelah marahnya terpuaskan tuan langsung mendorong Ester hingga terjatuh, Ester pun bangkit kemudian langsung berlari sambil menangis masuk kedalam rumah, aku reflek ikut berlari mengikuti Ester.

Tidak aku sangka Ester berlari kedalam kamarku, sambil menangis dia duduk di atas kasurku. Aku coba untuk melihat tangannya yang habis mendapatkan siksaan yang cukup berat, lebam dan bengkak menghiasi tangan kecil tak berdosanya itu. Aku tidak tinggal diam, akupun langsung mengompresnya dengan air hangat, Ester masih saja menangis dan aku mencoba menenangkannya. Tapi Ester tidak dapat begitu saja diam karena yang dialaminya adalah sebuah kejadian besar, akupun yang sudah sebesar ini jika mendapat perlakuan seperti itu akan berlaku sama seperti Ester mungkin. Tak lama kemudian Orang Tua Ester membuka pintu kamarku dan melihat keadaan anaknya, tuanpun langsung pergi begitu saja ketika melihat anaknya menangis tanpa peduli apapun, sedangkan nyonya masih sempat menanyakan keadaan Ester.

“Bagaimana keadaannya Ester?” Tanya nyonya Rona.

“Tangannya Lebam dan bengkak nyonya, tapi sudah aku kompres kok semoga saja bisa cepat kempes.” Jawabku.

“Yasudah biarkan saja dia disini untuk saat ini, tolong jaga dia ya Fia.” Kata nyonya.

Aku tak mengerti apa yang ada didalam pikiran kedua orang tuanya, bisa – bisanya mereka cuek dengan keadaan anaknya seperti demikian? Sepertinya aku dapat menyimpulkan keadaan ini, mereka lebih sayang dengan harta benda mereka daripada dengan anak mereka yang baru saja melakukan satu kesalahan yang menurutku wajar karena Ester hanya ingin mendapat perhatian dari orang tuanya karena selama ini dia kurang mendapat perhatian, mungkin caranya salah tapi wajar juga karena dia masih kecil, dia hanyalah anak kecil yang tidak mengerti mana yang hak dan mana yang bathil. Tak beberapa lama Ester tertidur dipelukanku, aku merasa sangat iba melihat keadaannya, kurebahkan dia ke kasur lalu aku biarkan dia pulas.

Pada malam hari Ester terbangun, tapi sampai saat itu kedua orang tuanya tidak sama sekali memperdulikannya, oh aku pikir belum bukan tidak. Keesokan harinya pada pagi hari Ester terbangun dan dia meminta untuk diantarkan pergi kesekolah karena dia takut bertemu dengan ayahnya, tapi melihat keadaannya seperti ini aku tidak bisa mengizinkannya pergi sekolah walau aku tidak punya hak untuk itu. Ibunya datang kekamarku dan kembali menanyakan keadaan Ester, aku katakan hal yang sama dengan yang kemarin kalau tangannya lebam dan bengkak bahkan sekarang badan Ester terasa demam, tapi sama seperti kemarin ibunya hanya menyampaikan sebuah pesan kepadaku untuk mengompres kembali tangannya dan memberikannya obat demam serta menyuruhnya untuk istirahat. Aku hanya bisa mengikuti perintah dari majikanku saja, karena memang tidak banyak hal yang dapat aku lakukan.

Tiga hari sudah berlalu lebam ditangan Ester tak kunjung membaik dan tubuh Ester semakin lemah karena demam tinggi, aku tidak lagi mengerti apa yang harus aku lakukan. Akhirnya aku putuskan untuk mengatakannya pada nyonya dan tuan tentang keadaan Ester, setelah aku mengatakannya barulah mereka merasa khawatir dengan keadaan Ester kemudian mendatangi Ester dikamarku, melihat keadaan Ester sama seperti apa yang aku katakan bahkan lebih parah mereka langsung melarikan Ester ke rumah sakit, akupun tidak ketinggalan ikut menemani mereka ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit Ester langsung masuk ke unit gawat darurat dan diperiksa oleh dokter yang ada disana, kami menunggu dengan cemas diluar ruangan. Cukup lama dokter berada didalam memberikan pertolongan untuk Ester, barulah kemudian dokter keluar dan tanpa basa basi dia langsung menanyakan suatu hal yang mungkin sepele tapi sangat penting.

“Apa yang sudah terjadi dengan anak itu?” Tanya dokter itu kepada kami.

“Aku menyesal dok, aku telah memukulnya dengan pipa.” Jawab tuan Edwin menyelak.

“Oh saya juga menyesal pak, perlakuan bapak itu mengakibatkan tangan anak bapak harus kami amputasi. Karena terjadi luka yang sangat serius ditangannya dan jika dibiarkan tangannya akan lumpuh total.” Kata dokter itu yang membuat jantungku serasa berhenti berdetak saat itu juga.

Kedua orang tuanya pun tak dapat mempercayainya, nyonya juga dalam hitungan detik dia sudah jatuh pingsan. Mereka tidak punya pilihan lain selain mempercepat proses amputasi tangan Ester, dan malam itu juga operasi amputasi dilaksanakan dan berhasil. Paginya saat aku sedang menungguinya di rumah sakit dia tersadar dan dia terlihat kaget melihat kedua tangannya tidak memiliki lengan, akupun yang melihat merasa shock apalagi dia yang mengalaminya.

“Kak Fia, Tangan Ester kemana?” Teriak Ester hingga membangunkan kedua orang tuanya yang tertidur di sofa.

Ayahnyapun langsung bangun dan memeluk anaknya yang kini cacat karena ulahnya sendiri, hebatnya Ester tidak menangis tapi dia justru menanyakan hal yang sama kepada ayah dan ibunya.

“Yah, Bu, mana tangan Ester? Kalau gak ada tangan seperti ini bagaimana Ester bisa melukis yah?” Tanya Ester kepada kedua orang tuanya.

Kedua orang tuanya tak dapat berkata apa – apa, mereka hanya bisa menyesali semua yang sudah terjadi. Akupun mencoba untuk menjawab pertanyaan Ester, setidaknya jawabanku tidak akan membuatnya bertanya lagi kemana tangannya.

“Tangan Ester diambil sama dokter, supaya Ester gak terasa sakit lagi.” Jawabku.

“Kenapa diambil? Yah, Bu, tolong bilang sama dokternya kembalikan tangan Ester. Ester janji gak akan menggambar di mobil Ayah lagi, tapi tolong kembalikan tangan Ester. Kalau ga ada tangan bagaimana Ester bisa menggambar dan jadi pelukis yang terkenal?” Pinta Ester.

Akupun terhenyak mendengar kata – kata gadis kecil ini, air mataku semakin deras menetes ketika mengingat percakapan ku dengannya saat aku tanyakan kedia hendak jadi apa dewasa kelak? Dan dia berkata ingin menjadi seorang pelukis yang terkenal, tapi sekarang apa? Tidak ada yang bisa ia lakukan tanpa kedua tangannya, mungkinkah dia akan jadi pelukis terkenal dengan melukis menggunakan kakinya? Aku tak yakin soal itu, kini impian yang tadinya terasa sangat dekat menjadi terasa sangat jauh, walau aku tau ada saja cara untuk Ester menggapai impiannya, tapi untuk saat ini anak sebesar itu akan sulit melewatinya. Dan akhirya Ayah dan Ibunya menangis kejar sambil meminta maaf kepada anaknya, mereka berjanji tak akan pernah menghukum Ester lagi, apapun kesalahan Ester.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Story Ground © 2011 Design by Best Blogger Templates | Sponsored by HD Wallpapers